Prinsip Dalam Berinteraksi Dengan Orang-orang Kafir

Prinsip Dalam Berinteraksi Dengan Orang-orang Kafir

www.ilmusunnah.com

Orang beriman dan kafir tidak akan bersatu

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan manusia dengan tujuan supaya manusia beribadah (mengabdikan diri) hanya kepada-Nya.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah (megabdikan diri) kepada-Ku.” (Surah Adz-Dzariyat, 51: 56)

Atas sebab itulah, maka Allah ‘Azza wa Jalla mengutus para rasul dengan membawa agama yang haq (benar), untuk membimbing manusia melaksanakan ibadah dengan benar. Setiap para rasul itu adalah Muslim. Iaitu setiap mereka yang menyerahkan diri, tunduk, dan patuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia adalah seorang Muslim. Dan pengertian Islam secara umum itu adalah agama yang benar sebagaimana agama yang dibawa oleh para nabi dan rasul dari Nabi Nuh ‘alaihis Salam sehinggalah ke Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Namun secara khusus, Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan kemudiannya, dengan agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alahi wa Sallam ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menghapuskan (memansukhkan) seluruh agama dan syariat yang telah berlaku (wujud) sebelumnya (sebagaimana yang dibawa oleh para Nabi yang terdahulu). Maka, setiap orang yang sampai kepadanya seruan agama ini (seruan Islam), namun tidak memeluknya, maka dia adalah orang-orang yang kafir (ingkar).

Agama Islam adalah agama yang haq dan ‘adil, ia mengajar kaedah bermuamalah dengan seluruh jenis manusia, termasuk menjelaskan bagaimana seseorang Muslim perlu bermu’amalah kepada orang-orang kafir. Dari itu, berikut adalah sebahagian dari asas-asas yang dimaksudkan berkaitan dengan Adab di dalam bermu’amalah terhadap orang-orang kafir.

Seorang Muslim meyakini bahawa seluruh agama selain dari agama Islam itu adalah batil dan penganutnya adalah kafir. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ

“Sesungguhnya agama (yang diredhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Surah Ali ‘Imran, 3: 19)ucap selamat perayaan kafir

Dan firman-Nya:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Sesiapa yang mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Surah Ali ‘Imran, 3: 85)

Juga firman-Nya:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku redhai Islam itu menjadi agama bagimu.” (Surah Al-Ma’idah, 5: 3)

Dengan berita-berita dari Allah Subhanahu wa Ta’ala ini, seorang Muslim mengetahui bahawa semua agama sebelum Islam telah dihapus (dimansukhkan) dan Islam menjadi agama bagi semua manusia. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerima agama selain dari Islam, juga tidak redha dengan syari’at selain dari syariat Islam. Dari sini seorang Muslim meyakini bahawa setiap orang yang tidak tunduk kepada Allah dengan menganut Islam, maka dia adalah kafir dan perlu untuk kita bersikap terhadapnya dengan sikap yang telah ditentukan oleh syariat. Di antaranya adalah sebagai berikut:

1, Tidak bersetuju dengan kedudukannya di atas kekufuran, tidak redha dengan kekufuran (dan syi’ar-syi’arnya), dan tidak menyukainya. Kerana redha terhadap kekufuran (dan syi’ar-syi’arnya) merupakan salah satu bentuk kekufuran.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

“Dan aku tidak mengibadahi apa-apa yang kalian ibadahi, dan kalian tidak pula mengibadahi apa yang aku ibadahi. Dan kalian tidak pernah (pula) mengibadahi Rabb yang aku ibadahi. (Katakanlah kepada orang kafir) Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.” (Surah Al-Kaafiruun, 109: 6)

Al-Hafiz Ibnu Katsir rahimahullah (Wafat: 774H) berkata:

{ وَلا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ } أي: ولا أعبد عبادتكم، أي: لا أسلكها ولا أقتدي بها، وإنما أعبد الله على الوجه الذي يحبه ويرضاه؛ ولهذا قال: { وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ } أي: لا تقتدون بأوامر الله وشرعه في عبادته، بل قد اخترعتم شيئًا من تلقاء أنفسكم

“(Tentang firman Allah), “Dan aku tidak mengibadahi apa-apa yang kalian ibadahi, dan kalian tidak pula mengibadahi apa yang aku ibadahi.

Yakni, aku tidak menyembah apa-apa yang kalian sembah. Maksudnya, aku tidak akan menempuh jalan (atau cara hidup) kalian dan tidak pula mengikutinya.

Akan tetapi aku hanya mengabdikan diri (beribadah) kepada Allah dengan cara yang Dia cintai dan redhai (sebagaimana yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam).

Sebab itulah Allah berfirman, “Dan kalian tidak pernah (pula) mengibadahi Rabb yang aku ibadahi.”

Yakni kalian tidak mengikuti perintah-perintah Allah dan syari’at-syari’at-Nya dalam beribadah kepada-Nya. Akan tetapi kalian telah menciptakan sesuatu (sebagai jalan agama dan ibadah) berdasarkan cita-rasa kalian sendiri.” (Tafsir Ibn Katsir, 8/507)

2, Membenci orang kafir disebabkan Allah membencinya. Kerana di dalam Islam, cinta itu adalah kerana Allah, begitu juga benci hendaklah kerana Allah. Oleh kerana itu, apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala membenci orang kafir disebabkan kekufuran orang tersebut, maka seseorang Mukmin wajib juga membenci orang kafir tersebut dan membenci kekufuran dan kemaksiatan yang dia lakukan.

3, Tidak memberikan “wala’” (persaudaraan, kecintaan, kasih-sayang, atau ketundukan) kepada orang kafir. Allah Subahanhu wa Ta’ala berfirman:

لا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ

“Janganlah orang-orang Mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (saudara, pemimpin, pelindung, atau penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin.” (Surah Ali ‘Imran, 3: 28)

Dan firman-Nya:

لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

“Kamu tidak akan mendapati satu kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang yang menentang itu adalah ayah, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (Surah Al-Mujadilah, 58: 22)

4, Tidak menjadikan atau mengangkat mereka sebagai pemimpin.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nashara (Kristian) sebagai wali (pemimpin dan orang kepercayaan). Sebahagian mereka adalah wali bagi sebahagian yang lain. Sesiapa di antara kalian yang mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Surah Al-Maa’idah, 5: 51)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (138) الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا

Khabarkanlah (berita gembira) kepada orang-orang munafiq bahawa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (iaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi wali (sebagai pemimpin dan teman-teman penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin.

Adakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya ‘izzah (kemuliaan) itu adalah milik Allah seluruhnya.” (Surah An-Nisaa’, 4: 138-39)

Setelah Allah menyebutkan karektor dan sifat orang-orang munafiq yang mengangkat dan mendahulukan orang-orang kafir dalam urusan kepimpinan dan kewalian (penolong dan teman kepercayaan), Allah pun menyeru orang-orang beriman agar tidak ber-tasyabbuh (menyerupai) orang-orang munafiq dalam hal tersebut.

Allah Ta’ala befirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang kafir sebagai awliyaa’ (sebagai pemimpin dan orang kepercayaan) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Adakah kalian mampu mengemukakan hujah yang nyata bagi Allah?” (Surah An-Nisaa’, 4: 144)

Kata Syaikh ‘Abdurrahman As-Si’di rahimahullah (Wafat: 1376H):

لما ذكر أن من صفات المنافقين اتخاذ الكافرين أولياء من دون المؤمنين، نهى عباده المؤمنين أن يتصفوا بهذه الحالة القبيحة، وأن يشابهوا المنافقين

“Ketika Allah menyebutkan bahawa di antara sifat-sifat para munafiqiin adalah menjadikan orang-orang kafir sebagai awliyaa’ dan mengabaikan orang-orang yang mukmin, Allah pun melarang para hamba-Nya yang mukmin dari menghiasi diri mereka dengan sifat buruk tersebut, dan melarang mereka ber-tasyabbuh (menyerupai) karektor kaum munafiq tersebut.” (Tafsir As-Si’di, m/s. 211)

Telah dijelaskan pada artikel yang lain, https://ilmusunnah.com/tidak-mengambil-kaum-kafir-sebagai-pemimpin/

5, Tidak tunduk dan mencari kemuliaan di sisi orang-orang kafir dan kepercayaan mereka. Sebaliknya, kemuliaan hanya akan diperolehi dengan memurnikan ketaatan kepada Allah Ta’ala, dengan jalan Islam (yakni jalan yang diredhai oleh Allah), bukan jalan yang ditempuh oleh orang-orang kafir. Adapun perbuataan mencari kedudukan dan kemuliaan dari sisi orang-orang kafir dan kepercayaan-kepercayaan mereka, hakikatnya adalah sebuah kehinaan.

Kata Al-Hafiz Ibnu Katsir rahimahullah (Wafat: 774H):

“Yakni bagi siapa yang menginginkan Al-‘Izzah (kemuliaan) di dunia dan akhirat, maka hendaklah dia sentiasa mentaati Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kerana dengan cara itulah dia akan dapat mencapai tujuannya, dan kerana Allah Ta’ala adalah pemilik dunia dan akhirat serta milik-Nya-lah seluruh kemuliaan tersebut.

Sebagaimana firman-Nya di ayat yang lain:

الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا

“(Yakni) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman rapat (sebagai penolong dan pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang yang beriman. Adakah mereka ingin mencari Al-‘Izzah (kemuliaan) di sisi mereka (orang-orang kafir)? Maka sesungguhnya kemuliaan itu adalah milik Allah seluruhnya.” (Surah An-Nisaa’, 4: 139)

Mujahid berkata:

“Siapa yang menghendaki kemuliaan” dengan cara mengibadahi (menyembah) berhala, maka sesungguhnya kemuliaan itu adalah milik Allah seluruhnya.”

Qotadah berkata tentang firman Allah:

“Siapa yang menghendaki Al-‘Izzah (kemuliaan), maka bagi Allah-lah kemuliaan itu seluruhnya…”

Yakni kemuliaan itu adalah dengan mentaati Allah ‘Azza wa Jalla.” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/536-537)

Allah Ta’ala juga befirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا الَّذِينَ كَفَرُوا يَرُدُّوكُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian mentaati (mengikuti kehendak dan cara hidup) orang-orang yang kafir, nescaya mereka akan mengembalikan kalian ke belakang (kepada kemurtadan dan kekafiran), lalu jadilah kalian orang-orang yang rugi.” (Surah Ali ‘Imran, 3: 149)

6, Bersikap adil dan berbuat baik kepadanya yakni dalam hal-hal yang dibenarkan dan tidak menyelisihi syari’at Islam, selagi orang kafir tersebut bukan dari jenis kafir muharib (orang kafir yang memerangi umat Islam). Ini adalah berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:trinity kafir

لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu kerana agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Surah Al-Mumtahanah, 60: 8)

Ayat yang mulia lagi muhkam (ayat yang maknanya jelas dan hukumnya tidak dihapuskan) ini membolehkan bersikap adil dan berbuat baik kepada orang-orang kafir, kecuali orang-orang kafir muharib (orang-orang kafir yang memerangi umat Islam). Kerana Islam memberikan sikap khusus terhadap orang-orang kafir muharib.

7, Mendakwahi mereka jika punya kemampuan; dengan ilmu (kebenaran) dan sikap yang hikmah. Di mana termasuk makna berbuat baik kepada kaum kafir adalah dengan mengajaknya kepada Islam agar dia selamat di akhirat. Kita membenci dan tidak meredhai kekafirannya yang menjadikan dia dimurkai dan diazab di akhirat. Maka termasuk rangka berbuat baik kepadanya adalah dengan menolong dan menyelamatkannya dari azab dengan cara mengajaknya kepada Islam selagi dia masih hidup.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Serulah (yakni ajaklah manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah (berbahaslah dengan) mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabb-mu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia-lah yang lebih mengetahui terhadap orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Surah An-Nahl, 15: 125)

Namun tidak boleh memaksa mereka untuk masuk Islam.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ

“Tidak ada paksaan untuk (masuk) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat.” (Surah Al-Baqarah, 2: 256)

8, Tidak mengganggu rumah-rumah ibadah mereka.

Namun tidak boleh membiarkan ritual-ritual atau syi’ar-syi’ar kekafiran mereka tampak zahir dalam negara kaum muslimin. Tidak boleh membiarkan rumah-rumah ibadah mereka tampak di kawasan kaum muslimin, atau menyamai sebagaimana masjid-masjid kaum muslimin atau sehingga mengatasi syi’ar-syi’ar kaum muslimin. Dan tidak boleh simbol dan kegiatan keagamaan mereka mengganggu kaum muslimin.

Kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullah (Wafat: 676H) berkaitan kedudukan orang-orang kafir di negara Islam:

ويمنعون من اظهار الخمر والخنزير وضرب النواقيس والجهر بالتوراة والانجيل وإظهار الصليب واظهار أعيادهم ورفع الصوت على موتاهم

“Dan adalah dilarang bagi mereka itu (orang-orang kafir yang menetap di negara Islam) dari tindakan menzahirkan al-khamr (arak atau minuman-minuman keras mereka), babi, membunyikan loceng, menguatkan (memperdengarkan) bacaan Taurat dan Injil (atau kitab-kitab agama mereka), menzahirkan salib serta menzahirkan perayaan mereka serta menguatkan suara ratapan mayat.” (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, 19/412)

9, Menunjukkan belas-kasihan kepada orang kafir dengan sifat belas-kasihan yang bersifat umum (yang bukan Syar’i). Seperti memberi makan jika dia lapar, memberi minum sekiranya dia dahaga, mengubatinya jika sakit, menyelamatkannya dari keburukkan, dan tidak mengganggunya (tidak menyusahkannya atau menyakitinya). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمْ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ

“Kasihilah orang-orang yang berada di atas bumi, nescaya kamu akan dicintai oleh yang di atas langit (Allah).” (Sunan At-Tirmidzi, no. 1924. Dinilai sahih oleh At-Tirmidzi)

Namun tidak boleh menunjukkan belas kasihan disebabkan kekafiran mereka, dan tidak boleh tolong-menolong dalam rangka maksiat dan kekufuran mereka. Bahkan wajib menjelaskan kepada mereka hakikat kekufuran mereka dan mengajak mereka kepada Islam dalam rangka menyelamatkan mereka dari adzab dan kebinasaan yang hakiki.

10, Tidak mengganggu harta, darah, dan kehormatan, selama mereka bukan dari golongan kafir muharib. Allah berfirman sebagaimana di dalam hadis Qudsi:

عَنْ أَبِي ذَرٍّ: عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا رَوَى عَنْ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَّهُ قَالَ يَا عِبَادِي، إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا، فَلَا تَظَّالَمُوا

Dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, dan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau meriwayatkan dari Allah Tabaraka wa Ta’ala yang berfirman:

“Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman ke atas diri-Ku, dan Aku menjadikannya sesuatu yang diharamkan di tengah-tengah kamu, maka janganlah kamu saling menzalimi.” (Shahih Muslim, no. 2577)

Juga firman-Nya:

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ

Katakanlah: “Rabb-ku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, sama ada yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar…” (Surah Al-A’raaf, 7: 33)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

“Jika dia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan-mu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Sesiapa yang tidak mendapatkanya, maka hendaklah dia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Surah An-Nisaa’, 4: 92)

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ قَتَلَ نَفْسًا مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

“Siapa yang membunuh orang kafir mu’ahad (yang memiliki perjanjian damai) dengan kaum muslimin, maka dia tidak akan mencium bau Syurga. Dan sesungguhnya bau Syurga itu dapat dirasai dari kejauhan empat puluh tahun perjalanan.” (Shahih Al-Bukhari, no. 6914)

11, Boleh memberi hadiah kepadanya dan boleh juga menerima hadiah darinya (selagi mana bukan dalam rangka meraikan hal-hal yang diharamkan seperti hadiah sempena kepercayaan mereka atau seumpamanya), serta dibolehkan memakan daging sembelihan Ahli kitab (kecuali sembelihan yang terdapat bukti padanya disembelihan dengan selain nama Allah). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ

“Pada hari ini dihalalkan bagimu apa yang baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Kitab itu halal bagimu. Dan makanan kamu juga adalah halal bagi mereka.” (Surah Al-Mai’dah, 5: 5)hukum melancong ke negeri kafir

12, Tidak boleh menikahkan wanita yang beriman dengan lelaki kafir (walaupun lelaki tersebut adalah Ahli kitab). Dan lelaki Muslim tidak boleh menikahi wanita kafir, kecuali wanita Ahli kitab (yang menjaga kehormatannya).

Tentang larangan menikahkan wanita beriman dengan lelaki kafir, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ

“Mereka (perempuan-perempuan yang beriman) tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka.” (Surah Al-Mumtahanah, 60: 10)

Allah Ta’ala juga berfirman:

وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita hamba yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya hamba yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka itu mengajak ke Neraka, manakala Allah mengajak kepada Syurga dan keampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (Surah Al-Baqarah, 2: 221)

Dalil berkenaan dibolehkan menikahi wanita Ahli kitab, Allah Subahanhu wa Ta’ala berfirman:

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ

“(Dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka, dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.” (Surah Al-Ma’idah, 5: 5)

13, Tidak mendahului orang kafir dalam mengucapkan salam (yakni tidak memulakan ucapan salam ke atas orang kafir). Jika orang kafir tersebut mengucapkan salam terlebih dahulu, maka cukup dijawab dengan lafaz “Wa ‘alaikum”. Dari hadis Anas bin Malik, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَقُولُوا وَعَلَيْكُمْ

“Apabila seseorang ahli kitab mengucapkan salam kepadamu, maka jawablah dengan “Wa ‘Alaikum” (dan ke atas kamu juga).” (Sunan At-Tirmidzi, no. 3310. Ibn Majah, no. 3697)

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda:

لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ

“Janganlah kamu memulakan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nashara. Dan sekiranya kamu menemui (terserempak) salah seorang dari mereka di jalan, maka bawalah mereka ke jalan yang paling sempit/pinggir (bawa ke tepi jalan).” (Shahih Muslim, no. 2167. Dari hadis Abu Hurairah)

Dari hadis ini, Al-Imam An-Nawawi rahimahullah (Wafat: 676H) menyatakan:

“Para sahabat kami (yakni para ulama dalam kalangan mazhab Asy-Syafi’i) mengatakan, orang kafir dzimmi tidak dibiarkan berjalan di tengah jalan, namun dia diminta (dikehendaki) ke tepi sekiranya umat Islam melalui jalan tersebut. Namun jika jalan itu lengang, tidak berlaku kesesakkan (di jalan tersebut) maka tidak mengapa.”

14, Dibolehkan melakukan mu’amalah jual-beli yang halal dengan orang kafir.

Islam tidak mendidik umatnya untuk boikot-memboikot produk kaum kuffar yang baik lagi bermanfaat untuk kegunaan kaum muslim.

Bahkan Allah Ta’ala telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Lihat Surah Al-Baqarah, 2: 275)

Dari sini dapat kita fahami bahawa Allah menghalalkan jual beli sama ada dengan sesama muslim mahupun terhadap orang kafir, asalkan cara jual-belinya halal, dan produknya juga halal. Adapun ajaran boikot-memboikot itu sendiri asalnya adalah dari orang kafir, bukan dari kaum muslim.

Tapi tidak salah (bahkan dianjurkan) jika kita sebagai umat Islam untuk mengutamakan produk-produk keluaran muslim yang baik-baik, apatah lagi jika produk yang hendak dibeli merupakan produk yang serupa dari sudut jenis, manfaat, serta kualiti dan harga pun lebih kurang saja. Kerana muslim itu diperintahkan agar saling mengasihi, saling mengutamakan, saling bahu-membahu dan saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya dalam perkara kebaikan.

15, Umat Islam perlu menyelisihi orang-orang kafir dan tidak boleh ber-tasyabbuh (menyerupai) mereka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:limpahkanlah kesabaran terhadap orang kafir

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Sesiapa yang bertasyabbuh (menyerupai) sesuatu kaum, maka dia tergolong dalam kelompok mereka.” (Sunan Abi Dawud, no. 4031. Dari hadis Ibn ‘Umar)

Maksud Tasyabbuh adalah menyerupai atau meniru. Tasyabbuh kepada orang kafir yang terlarang adalah meniru atau menyerupai orang kafir dalam perkara keyakinan (aqidah), ‘ibadah, kebiasaan, atau perbuatan (tingkah-laku atau aktiviti) yang merupakan ciri khusus bagi mereka. Demikian keterangan Syaikh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-‘Aql dalam kitab beliau, “Man Tasyabbaha bi Qaumin Fahuwa Minhum”, m/s. 5.

Inilah beberapa adab berkaitan interaksi dengan orang-orang kafir. Semoga dengan risalah/tulisan yang serba ringkas ini, kita berupaya memahami sebuah sikap adil yang diajarkan oleh Islam dalam berinteraksi terhadap orang-orang kafir secara umum.

Wallahu a’lam.