Taat Terhadap Penguasa [selain dalam urusan maksiat]
Syarah Ushulus Sunnah
Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal rahimahullah (Wafat: 241H)
Syarah: Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafidzahullah
Berkata Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (Wafat: 241H), “Ushul as-Sunnah (Prinsip-prinsip Ahlus Sunnah) di sisi kami adalah:
وَالسَّمْعُ وَالطَّاعَةُ لِلْأَئِمَّةِ وَأَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ الْبَرِّ وَالْفَاجِرِ، وَمَنْ وَلِيَ الْخِلَافَةَ فَاجْتَمَعَ النَّاسُ عَلَيْهِ وَرَضُوا بِهِ. وَمَنْ غَلَبَهُمْ بِالسَّيْفِ حَتَّى صَارَ خَلِيفَةً وَسُمِّيَ أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ.
“Mendengar dan taat terhadap para imam serta pemimpin kaum mukminin, yang baik ataupun yang fajir (buruk). Demikian pula terhadap sesiapa yang memegang kekuasaan (kekhilafahan), dan orang-orang bersatu di bawah (pentadbiran)nya serta redha atasnya, juga terhadap sesiapa yang mengalahkan orang-orang dengan pedangnya sehingga menjadi penguasa (khalifah). Dan ia disebut dengan amiirul Mukminin.”.” (lihat: Ushul As-Sunnah Imam Ahmad)
Syarah dan penjelasan oleh Syaikh Rabi’:
Mendengar dan taat terhadap Amirul Mu’minin (pemimpin kaum mukminin), sama ada yang baik atau yang fajir. Di mana yang umat ini bersatu padanya, maka ia telah mencapai kedudukan sebagai seorang Khalifah (pemerintah). Sekalipun dia mendapatkan kerusi pemerintahan tersebut dengan senjata, iaitu memberontak terhadap penguasa sebelumnya dan mengalahkannya, sehingga menegakkan kedaulatannya, maka tidak dibolehkan untuk memberontak atasnya.
Kerana sesungguhnya jika umat ini memberontak untuk kedua kalinya, kelak akan ada yang memberontak untuk yang ketiga kalinya, lalu yang keempat, hingga jadilah umat ini terus-menerus dalam pergulatan dari satu siri pemberontakan kepada siri-siri pemberotakan yang berikutnya.
Tidak! Pemberontakan itu asalnya tidak dibenarkan. Sebab itu, apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menguasakan orang tersebut kepada sang pemberontak, lalu Allah menangkan, hingga tertegak daulah (kekuasaan) yang baru di atas reruntuhannya, maka wajib atas kaum muslimin untuk berhenti pada batas ini, dan menyerahkan pemerintahan kepada pemenangnya; sama ada ia datang (berkuasa) melalui jalur pemilihan, musyawarah dan bai’at, ataukah melalui perebutan kuasa (kudeta); iaitu dia meraih tampuk kekuasaan dengan pedangnya (atau senjata), lalu dia memiliki cengkaman kuasa dan kekuatan. -barakallahu fikum-, maka wajib atas kalian untuk menerima dan menyerahkan kepadanya serta menjaga darah-darah kaum muslimin. Sama saja adakah ia seorang yang baik atau fajir, tetap wajib atas kalian untuk mentaatinya (selama bukan dalam perkara maksiat).
Perhatikanlah Imam Ahmad, Al-Bukhari, serta para imam umat Islam seluruhnya! Mereka menjadikan perkara ini sebagai salah satu pokok dasar dari pokok-pokok dasar (ajaran) Islam, iaitu: “Mentaati penguasa muslimin adalah sebuah ushul dari ushul (prinsip dasar) Islam.” Sama ada penguasa itu orang yang baik atau fajir.
Adapun Al-Khawarij, Ar-Rawafidh dan selainnya boleh jadi sepakat jika penguasa tersebut orang yang baik, sekalipun terkadang mereka juga tidak sepakat atasnya. Kerana Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu bukanlah orang baik menurut kelompok Ar-Rawafidh (Syi’ah). ‘Umar radhiyallahu ‘anhu juga bukan orang baik di sisi mereka. Demikian ‘Ali radhiyallahu ‘anhu di sisi Al-Khawarij dianggap bukan orang yang baik. Akan tetapi, dari sifat-sifat secara umum bahawa mereka tidak menyelisihi perkara ini pada penguasa yang baik. Namun, mereka menyelisihinya pada penguasa yang fajir.
Padahal seorang Khalifah (pemerintah) yang fajir, diktator, zalim lagi fasiq, selama dia belum keluar dari lingkaran Islam, maka tidak dibenarkan untuk ditentang, bagaimanapun keadaannya. Sebagaimana dijelaskan dalam banyak hadis, di antaranya:
بَايَعْنَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْعُسْرِ وَالْيُسْرِ، وَالْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ، وَعَلَى أَثَرَةٍ عَلَيْنَا، وَعَلَى أَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ حَتى تَرَوْا الكُفْرِ البَوَاح.
“Kami dahulu membai’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam untuk mendengar dan taat dalam keadaan sukar maupun lapang, di saat cergas maupun benci, bahkan di atas sikap penguasa yang mementingkan diri terhadap kami, agar kami tidak mencabut urusan ini dari pemiliknya, hingga kalian menyaksikan kekufuran yang nyata.” (lihat: Shahih Al-Bukhari, no. 7056. Muslim, no. 1709)
Jadi tidak dibenarkan untuk keluar (memberontak) atasnya, bagaimanapun kefasikan yang ia lakukan. Demikian pula dalam hadis Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha:
إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ، فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ، فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ، وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، أَلَا نُقَاتِلُهُمْ؟ قَالَ: لَا، مَا صَلَّوْا
“Sesungguhnya akan dikuasakan atas kalian para pemerintah, sehingga kalian mengenali dan mengingkari (tidak menyetujuinya). Maka sesiapa yang mengingkari (keburukan)nya, benar-benar dia telah selamat. Dan sesiapa yang membenci (kemaksiatan)nya, maka sungguh dia telah berlepas diri (dari kemaksiatannya). Tetapi bagi sesiapa yang redha dan mengikutinya (maka dia celaka).” Lalu para sahabat berkata:
“Wahai Rasulullah, tidakkah kami perangi mereka?”
Beliau menjawab:
“Jangan, selama mereka masih solat.”
Maka selama mereka masih menegakkan solat, tidak dibenarkan memberontak atas mereka (pemerintah). Lalu bagaimana jika penguasa tesebut solat, bahkan berpuasa, berzakat dan berhaji, bahkan memberikan keamanan bagi kaum muslimin untuk (menjalankan) semua itu, menjamin keamanan jalan-jalan bagi mereka, dan seterusnya…, bagaimana jika seperti ini?!
Di manakah (kedudukan) kita saat ini dari ulah para pengacau yang ada zaman sekarang? Di mana mereka terhadap sabda Nabi:
لَا، مَا صَلَّوْا
“Jangan, selama mereka masih solat!”
Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
لَا، مَا صَلَّوْا
“Jangan, selama mereka masih solat!”
Sedangkan para penguasa telah menelantarkan banyak (perkara) berkaitan Islam, namun beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak mengatakan:
“Jangan, selama mereka masih solat, berzakat, berhaji..” dan seterusnya.
Tetapi beliau hanya mengatakan:
“Jangan, selama mereka masih solat.”
Kenapa? Kerana pemberontakan itu dapat mengakibatkan pelbagai kerosakan, tersadainya Islam dan muslimin, binasanya umat, pertanian dan keturunan, tercabulnya maruah, penghinaan dan perendahan atas kaum muslimin sehingga mereka menjadi umpama santapan-empuk bagi musuh-musuhnya. Demikianlah jika terjadi pemberontakan demi pemberontakan, lalu pemberontakan lagi…
Saat sekarang ini, wahai saudara-saudaraku, telah berdiri negara-negara untuk para pemberontak (revolusioner) itu melalui jalur reformasi, juga melalui pilihan-raya, juga melalui ini dan itu, lalu apa yang mereka telah laksanakan?! Apa yang mereka realisasikan dari slogan-slogan itu?! Mereka itu termasuk sejauh-jauh orang dari penerapan syari’at Islam. Mereka tambahkan kepada pemerintahan-pemerintahan yang menyimpang itu kerjasama (atau toleransi) pelbagai kongres-kongres persatuan antara agama, pembinaan gereja-gereja, pendekatan terhadap (karektor) orang-orang Nashrani, perendahan, pemiskinan, dan pembinasaan kaum muslimin dalam urusan agama dan dunia.
Demi Allah, mereka raih hal itu melalui pilihan-raya, reformasi, dan pelbagai macam cara. Mereka bergabung ke dalam (kabinet) kementerian, semua ini omong kosong! Mereka sama sekali tidak berbeza dengan selain mereka.
Maka dari itu, janganlah kita percaya kepada mereka. Keinginan mereka hanyalah agar meraih kerusi-kerusi (pemerintahan) dengan cara apapun. Setelah itu mereka akan membalikkan punggung-punggung mereka terhadap Islam, sebagaimana telah kalian lihat dan kalian ketahui. Di sana-sini, di banyak negara. Lalu terkadang mereka datang melalui reformasi atas nama Islam. Maka terungkaplah atas mereka fahaman komunis atau manhaj lain yang sesat. Kalau begitu, hikmah (sikap bijaksana) itu hanya ada pada bimbingan pembawa syari’at (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam) yang bijaksana, penyayang, lembut, pemberani, yang mendidik umat ini di atas keberanian. Hanya saja dalam hal ini beliau menyatakan kepada mereka:
“Sabarlah walau apapun yang kalian saksikan, kecuali kekufuran.”
Berikut ini ada beberapa hadis yang akan saya bawakan untuk kalian sehingga dapat kalian catat:
Daripada sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu daripada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوا بِبَيْعَةِ الأَوَّلِ فَالأَوَّلِ، أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
“Bahawasanya bani Isra’il dahulu dipimpin oleh para nabi. Setiap kali wafat seorang nabi, diganti lagi dengan seorang nabi (yang lain). Dan sesungguhnya tidak ada nabi setelahku. Akan muncul para pemimpin pengganti, bahkan semakin banyak.” Maka para sahabat bertanya:
“Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?”
Beliau menjawab:
“Tunaikan bai’at yang lebih awal dan berikanlah hak mereka, kerana sesungguhnya Allah akan mempertanyakan kepada mereka tentang apa yang telah dipertanggungjawabkan atas mereka.” (lihat: Shahih Al-Bukhari, no. 3455. Muslim, no. 1842)
Perhatikan bagaimana (dikatakan):
فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
“Sesungguhnya Allah akan mempertanyakan kepada mereka tentang apa yang telah dipertanggungjawabkan atas mereka.”
Rasulullah tidak mengatakan:
حاسبوهم، ثوروا عليهم، أخرجوا، خذوا حقكم
“Hisablah mereka! Lawan mereka! Jatuhkan saja! Ambil hak kalian!”
Kerana, sesungguhnya sebahagian kaum revolusioner itu, yakni dari tokoh-tokoh mereka telah mengatakan:
“Kita tidak akan menunggu “jalan keluar” datang dari langit! Kerana itu kita perlu mengambil hak-hak kita dengan tangan-tangan kita sendiri! Wahai sekalian orang, ambillah hak kalian dengan tangan-tangan kalian sendiri! Kerana tidak akan datang “huluran tangan” kepada kalian menghulurkan hak tersebut.”
Tiada kecemburuan sama sekali terhadap agama Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak pula terhadap umat. Padahal (sesungguhnya) orang yang paling pencemburu adalah (Nabi) Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Beliau pernah bersabda kepada Sa’d radhiyallahu ‘anhu:
وَاللَّهِ أَنَا أَغْيَرُ مِنْك، وَاللَّهُ أَغْيَرُ مِنِّي
“Demi Allah, aku lebih kuat cemburunya berbanding engkau. Dan Allah lebih cemburu lagi daripada aku.”
Ketika Sa’d radhiyallahu ‘anhu mengatakan:
“Bagaimana pendapat engkau jika aku dapati ada lelaki lain bersama istriku dan aku datangkan empat orang saksi (atas hal itu)? Demi Allah, sungguh aku benar-benar akan menebas orang itu dengan pedang tanpa ampun.”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
أَتَعْجَبُونَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ، فَوَاللَّهِ لأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللَّهُ أَغْيَرُ مِنِّي، مِنْ أَجْلِ غَيْرَةِ اللَّهِ حَرَّمَ الفَوَاحِشَ
“Tidakkah kalian takjub dengan kecemburuan Sa’d?! Maka demi Allah, sungguh aku lebih cemburu daripadanya dan Allah lebih cemburu lagi daripada aku, kerana itulah Allah haramkan perbuatan keji (dosa).” (lihat: Shahih Al-Bukhari,no 7416. Muslim, no 1499)
Maka Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sangat cemburu terhadap agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau sangat cemburu atas tersebarnya kemungkaran dan kekejian. Jauh lebih cemburu daripada kita semua. Namun bersamaan dengan itu, beliau mengatakan:
أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
“… berikanlah hak mereka, kerana sesungguhnya Allah akan mempertanyakan kepada mereka tentang apa yang telah dipertanggungjawabkan atas mereka.”
Bukan engkau yang menghisabnya, (tetapi) nasihatilah dengan cara yang baik. Jika dia (mahu) mendengarkan, itulah (yang diinginkan), jika tidak, engkau telah melaksanakan kewajibanmu dan bersabarlah, selama ia (pemerintah) masih solat.
Kami tidak mengatakan ini dari diri kami sendiri, tetapi hal ini tetap berat bagi telinga-telinga mereka dan terasa sukar bagi jiwa-jiwa mereka.
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Rabbmu, mereka tidaklah beriman sampai mereka menjadikan engkau (Nabi Muhammad) sebagai hakim (pemutus) atas perkara yang mereka perselisihkan, lalu mereka tidak merasa berat dalam hati mereka terhadap keputusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan taslim (tunduk dan patuh).” (Surah An-Nisaa’, 4: 65)
Mereka menyerukan Al-Hakimiyyah (untuk berhukum dengan hukum Allah), sementara mereka sendiri tidak berhukum kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak pula berhukum kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Ahli bid’ah menyerukan Al-Hulul, Wihdatul Wujud, dan mengkafirkan umat serta mengatakan bahawa Al-Qur’an adalah makhluq, tetapi mereka tidak menerapkan hukum Allah! Mereka tidak redha untuk ruju’ (kembali) kepada hakimiyyah Allah pada perkara semisal ini.
Jadi mereka itulah sejauh-jauh orang, “Tiada hukum kecuali milik Allah! Tiada hukum kecuali milik Allah…” (jerit mereka), tetapi mereka sendiri termasuk orang yang paling congkak (sombong) terhadap hukum Allah, dan untuk berhukum kepada hukum Rasulullah Shallallahu álaihi wa Sallam.
Adakah hadis-hadis ini semuanya hanya main-main?!!
Bagi mereka, hal ini dianggap sebagai bentuk pembelaan atas orang-orang kafir dan mulhid!
Dan dari hadis Zaid bin Wahb, daripada ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahawa beliau berkata: “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:
إِنَّها سَتَكُونَ بَعْدِي أَثَرَة، وَأُمُور تُنْكِرُونَهَا
“Sesungguhnya akan terjadi sepeninggalanku a-tsarah (perbuatan membolot harta dan mementingkan diri – pent.), serta perkara-perkara yang kalian ingkari (yakni tidak setuju).” (lihat: Shahih Muslim, no. 1843)
A-tsarah adalah seseorang yang mengutamakan harta serta kedudukan untuk dirinya sendiri dan siapa saja yang mendukungnya dari para penolongnya, golongannya, serta kerabatnya. Sehingga tinggallah orang lain dibiar dalam kemiskinan.
Lalu apa yang mereka perbuat? (dari kalangan orang yang meninggalkan prinsip yang benar); (mereka berteriak):
“Ini adalah kezhaliman! Ini adalah berhukum dengan selain yang Allah turunkan!”
Apa yang akan dikatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, yang telah Allah turunkan kepada beliau:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Sesiapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (Surah Al-Ma’idah, 5: 44)
Apa yang dikatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentangnya?! Adakah kalian lebih tahu tentang Kitabullah dan agama Allah berbanding Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya yang mulia serta para imam Islam di setiap zaman dan tempat?!
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengatakan:
و إِنَّها سَتَكُونَ بَعْدِي أَثَرَة، وَأُمُور تُنْكِرُونَهَا
“Sesungguhnya akan terjadi sepeninggalanku a-tsarah (perbuatan membolot harta dan mementingkan diri – pent.), serta perkara-perkara yang kalian ingkari (yakni tidak setuju).” (lihat: Shahih Muslim, no. 1843)
Banyak perkara terjadi, yang mengetahuinya hanya Allah ‘Azza wa Jalla. Para Shahabat bertanya:
“Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada siapa di antara kami yang menjumpai perkara tersebut?” Beliau menjawab:
تُؤَدُّونَ الحَقَّ الَّذِي عَلَيْكُمْ، وَتَسْأَلُونَ اللَّهَ الَّذِي لَكُمْ
“Hendaklah kalian tunaikan hak yang dipertanggungjawab atas kalian, dan kalian minta kepada Allah hak milik kalian.” (lihat: Shahih Al-Bukhari, no. 3603. Muslim, no. 1843)
Jadi, bukannya engkau beranjak untuk merusuh dan melakukan aksi-aksi tunjuk-rasa (demonstrasi)!! Adakah demonstrasi dalam Islam?!!
Jika penguasa lalai dalam urusan air sehingga terputus selama sehari saja, langsung terjadi pelbagai demonstrasi. Saat ini, negara-negara itu (pemerintahnya) banyak memberi (membantu rakyatnya) dan tidak memungut (mengambil harta rakyatnya). Ya, kebanyakan negara yang ada saat ini banyak memberi (membantu) rakyatnya dan tidak memungut dari mereka kecuali sedikit saja. Sedangkan para penguasa (yang disebutkan dalam hadis); mereka memungut (mengambil harta), diktator dalam harta dan tidak memberikan sesuatupun (kepada rakyat), sehingga menyebabkan para rakyat menjadi miskin (melarat).
Seandainya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengatakan:
“Memberontaklah kalian…!”
Nescaya akan celaka umat ini. Oleh kerana itu, tidaklah tersisa (jalan ini) melainkan beliau membimbing mereka agar (mampu) berfikir, teliti, sabar dan berhati-hati. Ini semua dalam rangka menjaga Islam, melindungi darah-darah kaum muslimin serta menjaga kehormatan mereka. Maka beliau katakan:
“Hendaklah kalian tunaikan hak yang dipertanggungjawabkan atas kalian.” Yakni tunaikan hak yang menjadi kewajiban kalian.”
“…dan mintalah kepada Allah hak-hak kalian.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengatakan kepada golongan Anshar radhiyallahu ‘anhum:
إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ أَثَرَةً بَعْدِي
“Sesungguhnya kalian akan menemui a-tsarah (penguasa yang membolot harta dan mementingkan diri – pent.) sepeninggalku nanti.”
Golongan Anshar radhiyallahu ‘anhum yang telah berperang bersama mereka, telah mendiami kota Madinah dan beriman, berjihad, bertarung serta menawan dunia, apa yang beliau katakan kepada mereka?!
Lalu datanglah orang-orang, memetik buah hasil jerih payah kaum Anshar dan Muhajirin radhiyallahu ‘anhum. Banyak di antara mereka yang masuk Islam setelah penaklukan (pembukaan) kota Makkah, seperti Abu Sufyan, Mu’awiyah dan anak-anak mereka radhiyallahu ‘anhum.
Hanya cuma sahabat Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu (bin Abu Sufyan, pent.) tidak kami golongan ke deretan mereka, akan tetapi Bani Marwanlah yang muncul dari mereka karektor-karektor kezaliman. Pada masa mereka muncul pelbagai tindak penindasan, menunda-nunda solat ‘Ashr, bahkan sampai mengakhirkan solat yang ada dari waktu yang sepatutnya. Telah terjadi pada mereka sekian banyak kesalahan, namun para sahabat yang berdepan dengan situasi tersebut; mereka tetap bersabar (yakni tidak memberontak mahupun menentang pemerintahan – pent.).
Orang-orang datang kepada Anas (bin Malik) radhiyallahu ‘anhu lalu menceritakan:
“Al-Hajjaj telah melakukan demikian dan demikian, menumpahkan darah, merampas harta, dan terus berbuat ini dan itu.”
Seorang yang lebih parah berbanding para penguasa zaman sekarang, dialah Al-Hajjaj. Adapun para penguasa sekarang baik yang di timur mahupun yang di barat, masih memiliki peraturan-peraturan. Sedangkan orang ini (Al-Hajjaj) adalah pembuat onar yang berhukum dengan hawa nafsunya sesuka hati dan sering menumpahkan darah kaum muslimin. Tetapi Anas radhiyallahu ‘anhu mengatakan:
اصْبِرُوا لَا يَأْتِي عَامٌ إِلَّا و الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ
“Sabarlah kalian, kerana tidaklah datang suatu tahun (zaman) melainkan yang setelahnya lebih buruk berbanding yang sebelumnya.” (lihat: Shahih Al-Bukhari, no. 7068)
Di sini Anas radhiyallahu ‘anhu memerintahkan mereka agar tetap bersabar. Beliau mengambil pelajaran-pelajaran dan bimbingan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang pernah diketahuinya.
Daripada ‘Alqamah bin Wa’il, daripada ayahnya dia berkata: Salamah bin Yazid Al- Ju’fi pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau berkata:
يَا نَبِيَّ اللهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَسْأَلُونَا حَقَّهُمْ وَيَمْنَعُونَا حَقَّنَا، فَمَا تَأْمُرُنَا؟ فَأَعْرَضَ عَنْهُ، ثُمَّ سَأَلَهُ، فَأَعْرَضَ عَنْهُ
“Wahai Nabi Allah, bagaimana pendapat anda jika yang berkuasa atas kami adalah pemimpin yang suka meminta hak mereka kepada kami, tetapi menahan hak kami; Apa yang anda perintahkan kepada kami?”
Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berpaling daripadanya.
Setelah itu dia bertanya lagi, dan beliau berpaling (lagi) daripadanya.
Kemudian dia bertanya lagi, dan beliau berpaling (lagi) daripadanya.
Sebuah perkataan yang merbahaya! Beliau tidak menyukainya. Sebuah pertanyaan yang sukar. Apa yang akan dikatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepada orang tersebut? Kemudian Al- Asy’ats bin Qais radhiyallahu ‘anhu menariknya, dan beliau berkata:
اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا، فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا، وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ
“Dengar dan taatlah, kerana sesungguhnya kewajiban mereka adalah apa yang dipertangungjawabkan kepada mereka, sedang kewajiban kalian adalah apa yang dipertanggungjawabkan atas kalian.” (Shahih Muslim, no. 1846)
Boleh jadi seorang pembaca memahami bahawa ini adalah ucapan Al-Asy’ats bin Qais radhiyallahu ‘anhu. Seandainya dikatakan bahawa ini adalah ucapan Al-Asy’ats radhiyallahu ‘anhu, maka sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah menyetujuinya. Dan kalian tahu bahawa As-Sunnah itu meliputi ucapan beliau (sunnah qauliyyah), perbuatan (sunnah fi’liyyah) dan persetujuan beliau (sunnah taqririyyah).
Bahkan telah datang dalam riwayat lain setelah kisah tersebut, disebutkan: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا، فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا، وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ
“Dengar dan taatlah, kerana sesungguhnya kewajiban mereka adalah apa yang dipertanggungjawabkan kepada mereka, manakala kewajiban kalian adalah apa yang dibebankan kepada kalian.” (Shahih Muslim, no. 1846)
كيف أُمَرَاءُ يَسْأَلُونَا حَقَّهُمْ وَيَمْنَعُونَا حَقَّنَا
“Bagaimana dengan para penguasa yang menuntut hak mereka kepada kami, tetapi mereka menahan hak kami?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pun berpaling dari setiap apa yang ditanyakan kepada beliau. Pertanyaan ini tidak menyenangkan beliau, kerana hal tersebut dapat menghantar kepada pelbagai fitnah. Lalu beliau pun mengatakan:
اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا، فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا، وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ
“Dengar dan taatlah, kerana sesungguhnya kewajiban mereka adalah apa yang dibebankan kepada mereka, manakala kewajiban kalian adalah apa yang dipertanggungjawabkan atas kalian.” (Shahih Muslim, no. 1846)
Berikutnya adalah hadis Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, disebutkan:
لَا، مَا صَلَّوْا
“Jangan, selama mereka masih solat.”
تَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَن عَرَفَ فَقَد بَرِئَ، وَ مَنْ كَرِهَ فَقَدْ سَلِمَ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ
“Kalian mengetahui dan kalian mengingkarinya (tidak setuju). Maka sesiapa yang mengetahui, berna-benar dia telah berlepas (diri). Dan sesiapa yang membenci, sungguh dia telah selamat. Tetapi bagi siapa yang redha dan mengikuti (maka dia celaka).”
Maka hendaklah engkau ingkari dalam hati. Imam Muslim rahimahullah berkata setelahnya:
أَيْ مَنْ كَرِهَ بِقَلْبِهِ وَأَنْكَرَ بِقَلْبِهِ
“Iaitu sesiapa yang membenci dengan hatinya dan mengingkari dengan hatinya…”
Maka Imam Muslim rahimahullah menjadikan pengingkaran dan kebencian itu di dalam hati, kalian ketahui ini satu keadaan.
Dan ada pula hadis yang lain:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Sesiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, hendaklah dia ubah dengan tangannya. Jika dia tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika dia tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.” (Shahih Muslim, no. 49)
Sekarang ini, jika ada seorang ‘alim yang dia tidak mengingkari beberapa perkara, adakah kerana takut atau kerana sebab yang lain, tetapi dia mengingkari dengan hatinya; (ia pun bakal dituduh sebagai):
Talibarut pemerintah! Mata-mata! Penjilat! Tukang ampu!
Dan pelbagai tuduhan dusta lainnya yang -demi Allah- tidaklah mereka ambil melainkan dari ideologi komunis. Ini semua bukanlah cara-cara kaum muslimin! Ini merupakan cara-cara komunis, revolusioner (pemberontak), para penganut nasionalisme kebangkitan bangsa (ba’tsi), pentaksub golongan, serta parti-parti (hizb) yang sesat. Lalu bagaimana seorang pemuda muslim boleh menerima cara-cara mereka ini?
Ulama Islam dan para pengikut kebenaran, iaitu Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berpegang-teguh dengan bimbingan Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sebagaimana (dalam) hadis ini, juga sebagaimana pernyataan para imam Islam, semisal Imam Malik, Asy- Syafi’i rahimahullah, Ahmad bin Hanbal rahimahullah, Al-Auza’i rahimahullah, Ats-Tsauri rahimahullah dan yang lainnya, semuanya pernah hidup di zaman penguasa yang mempunyai banyak kesalahan dan bahkan penguasa yang banyak sekali penyimpangan.
Pada dasarnya, apa yang terjadi di masa Imam Ahmad??! Sebuah negara berdaulat yang menolak sifat-sifat Allah, dan berpegang kepada mazhab (pemikiran sesat) Jahm (bin Shafwan). Padahal mazhab Jahmiyyah ini menurut para imam tadi adalah suatu kekufuran.
Ya, pendapat yang mengatakan bahawa Al-Qur’an adalah makhluq adalah suatu kekufuran menurut Imam Ahmad rahimahullah dan ulama ahli hadis pada waktu itu. Dan penguasa saat itu juga menyeru kepada kekufuran ini, sehingga orang-orang berhasrat untuk memberontak, tetapi Imam Ahmad rahimahullah menolaknya. Beliau mengatakan:
هذاَ فِيهِ فَسَادٌ وَ فِيهِ ضَرَرٌ الُمسلِمِيْنَ
“Dalam pemberontakan ini, padanya terdapat kerosakan serta mudharat atas kaum muslimin.” Lalu beliau mencela mereka.
Bagaimana ini; Adakah Imam Ahmad pengecut?! Ahmad talibarut pemerintah?!
Para salaf yang mengambil dalil-dalil tersebut dan menentang golongan Khawarij serta para pembuat fitnah dari kalangan Mu’tazilah dan selainnya, apakah mereka juga termasuk agen pengampu? Mata-mata?!
Demi Allah, mereka ini (Ahlul Bid’ah) memerangi Ahlus Sunnah dengan cara-cara orang komunis, nasionalis, pentaksub, dan parti-parti mulhid (atheis, anti syari’at). Bagaimana kalian pergunakan cara-cara sebegini ini terhadap kaum muslimin?! Kenapa enggan mengambil dalil-dalil yang ada?! Dan mengapa tidak memberikan ‘udzur kepada ulama kaum muslimin, sementara di sisi mereka ada dalil-dalil ini?!
Saat ini, saya tidak menginginkan untuk memberontak dan berpandangan bahawa sang hakim telah kafir dengan kekufuran yang nyata. Aku tidak mengkafirkannya. Sedangkan engkau berpegang dengan mazhab Khawarij dan mengkafirkannya. Tinggalkanlah aku dengan keadaanku wahai saudaraku, jangan engkau menghinaku wahai saudaraku, bahkan wajib atasmu untuk mendengar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Selama mereka masih menegakkan solat…”,
“Selama mereka masih solat…”,
“Sampai kalian melihat kekufuran yang nyata…”
Saat ini, kita tidak mengetahui adanya seorang ‘alim yang diperhitungkan keilmuannya, berkata-kata tentang sebahagian penguasa. Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, kalian tahu bagaimana beliau mengkafirkan sebahagian penguasa, dan sebahagian ulama juga mengkafrkan penguasa yang memang pantas untuk dikafirkan. Akan tetapi penguasa selainnya, masih berada dalam lingkaran Islam. Sekalipun mereka menyimpang di dalam lingkaran Islam tetapi tidak seorangpun (ulama) yang mengkafirkan mereka.
Adakah di sana ada -contoh- seorang ‘alim Ahlus Sunnah yang diperhitungkan keilmuannya dan paling bersih, lalu memfatwakan tentang kafirnya si fulan dan fulan dari kalangan para penguasa sekarang?!
Tidak akan kita dapati selain orang-orang bodoh dan para penggemar Mu’tazilah serta Khawarij, merekalah yang mengkafirkan! Mereka mengkafirkan penguasa serta masyarakat. Mengkafirkan pemerintah dan tenteranya.
Semua ini adalah kelanjutan dari pendidikan (bimbingan) Sayyid Quthb, yang merobohkan dasar-dasar As-Sunnah, dan justeru bergantung dengan dasar-dasar (ajaran) pengikut kesesatan seluruhnya. Tidaklah ada satu ajaran dasar yang rosak, melainkan telah diaplikasikan oleh Sayyid Quthb. Dan tidak ada satu ajaran pokok dari dasar-dasar ajaran Ahlus Sunnah kecuali dia robohkan.
Di antara ajarannya ialah pengkafiran umat. Juga pokok ajaran yang menjadi dasar terbinanya pengkafiran tersebut, iaitu bahawa iman itu tidak bertambah dan tidak pula berkurang, Iman itu kalau tidak seratus persen, maka kufur. Begitu mudah, iman atau kufur. Jika ada seseorang yang melakukan banyak maksiat dan dia mentaati pembuat hukum pada satu cabangnya, dia benar-benar telah kafir dan keluar dari lingkaran Islam secara total (menurutnya – pent.). Adakah kaum Khawarij telah sampai pada batas ini?! Sebab itu, kami sangat mengharapkan agar para pemuda agar belajar (memahaminya).
Sekarang (jika) engkau keluarkan sekian nash atau dalil-dalil, lalu engkau jelaskan tentang penyimpangan orang ini (Sayyid Quthb), mereka enggan menerimanya daripada engkkau. Mereka tidak mahu menerima kebenaran daripada engkau. Bahkan mereka enggan untuk mencari kebenaran, wahai saudara-saudaraku! Mereka enggan untuk mengambil sikap sebagaimana sikap orang-orang yang berakal dalam menghadapi fitnah ini. Fitnah yang gaungnya menyebar ke seluruh penjuru dunia, belahan timur dan baratnya. Fitnah yang telah membuat bingung para pemuda umat ini serta mencerai-beraikan akal-akal mereka. Membuat mereka saling menghentan satu sama lain. Fitnah yang menancapkan (benih-benih) permusuhan dan kebencian. Mereka tidak ingin mencari pengetahuan yang benar (dengan bashirah) dan mempelajari perkara-perkaranya, sehingga mereka kenali siapakah orang yang mengiring mereka, bagaimana pula manhajnya, keyakinan-keyakinan (‘aqidah)nya, dan bagaimana pula pemahamannya terhadap Islam?
Mereka tidak mahu yang demikian ini. Ya, mereka tidak menginginkannya.
جَعَلُوا أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ وَاسْتَغْشَوْا ثِيَابَهُمْ وَأَصَرُّوا وَاسْتَكْبَرُوا اسْتِكْبَارًا
“…mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya, menutup bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap dalam sikapnya serta menyombong diri dengan amat sangat.” (Surah Nuh, 71: 7)
Demi Allah, wahai saudara-saudaraku, mereka telah menempuh jalan-jalan yang buruk. Dan kami katakan ucapan ini sekalipun terasa keras, agar mereka tersedar, andai mereka memang masih memiliki akal dan masih menghormati dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman As-Salafush Shalih (generasi awal umat Islam yang terbaik).
Wajib atas mereka untuk menggunakan akal-akal mereka dalam menghadapi perkara-perkara besar seperti ini yang dapat menghantarkan umat sampai pada suatu kedudukan yang tidak pernah dapat dicapai (atau diperbaiki) melalui tangan Sayyid Quthb dan para pengikutnya!
Sekarang kita tanamkan asas dasar ajaran ini, kerana cakupan makna (penyelesaiannya) merangkum pelbagai persoalan fitnah. Hafalkanlah dalil-dalilnya, kerana sesungguhnya kita beragama kepada Allah dengan perkara-perkara ini sampai kita berjumpa dengan-Nya kelak. Supaya tidak memungkinkan bagi pengekor hawa nafsu dapat menyeret kita, tidak pula pelaku penyimpangan mampu mempengaruhi kita dari menyelisihi manhaj ini.
Rujukan: Syarah Ushulus Sunnah, m/s. 50-56. Edisi pdf: http://www.rabee.net/show_des.aspx?pid=5&id=201