Sunnah di Malam Pertama Bagi Seorang Suami

Sunnah di Malam Pertama Bagi Seorang Suami

www.ilmusunnah.com

Adalah disunnahkan bagi seorang suami untuk melaksanakan solat terlebih dulu bersama isterinya sebelum pertama kali dia melakukan hubungan badan dengannya. Sunnah ini adalah berdasarkan atsar dari para salaf radhiyallahu ‘anhum.jaga diri saat suami tiada

Dari hadis Abu Sa’id, maula Abu Usaid, beliau berkata:

تَزَوَّجْتُ وَأَنَا مَمْلُوكٌ، فَدَعَوْتُ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهِمْ ابْنُ مَسْعُودٍ وَأَبُو ذَرٍّ وَحُذَيْفَةُ، قَالَ: وَأُقِيمَتِ الصَّلَاةُ، قَالَ: فَذَهَبَ أَبُو ذَرٍّ لِيَتَقَدَّمَ، فَقَالُوا: «إِلَيْكَ»، قَالَ: أَوَ كَذَلِكَ؟ قَالُوا: «نَعَمْ»، قَالَ: فَتَقَدَّمْتُ إِلَيْهِمْ وَأَنَا عَبْدٌ مَمْلُوكٌ وَعَلَّمُونِي فَقَالُوا: «إِذَا أُدْخِلَ عَلَيْكَ أَهْلُكَ فَصَلِّ عَلَيْكَ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ سَلِ اللَّهَ تَعَالَى مِنْ خَيْرِ مَا دَخَلَ عَلَيْكَ، وَتَعَوَّذْ بِهِ مِنْ شَرِّهِ، ثُمَّ شَأْنَكَ وَشَأْنَ أَهْلِكَ»

“Aku menikah sedang pada ketika itu aku adalah seorang hamba. Aku mengundang beberapa orang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, di antara mereka adalah Ibnu Mas’oud, Abu Dzarr, dan Huzaifah.”

Abu Usaid melanjutkan:

“Kemudian solat pun didirikan. Abu Dzarr pun maju ke depan (untuk menjadi imam). Maka mereka berkata, “Tetaplah di tempatmu (jangan menjadi imam).” Abu Dzar bertanya:

“Begitukah?” Mereka menjawab, “Ya, benar.” Setelah itu, aku pun maju mengimami mereka sedang aku adalah seorang hamba. Kemudian mereka mengajariku (sesuatu) seraya berkata:

“Jika engkau hendak ‘masuk bersama’ dengan isterimu (untuk pertama kalinya), maka laksanakanlah solat dua raka’at kemudian mohonlah kepada Allah Ta’ala kebaikan apa-apa yang masuk kepada engkau, dan berlindunglah kepada-Nya dari keburukannya. Setelah itu, terserahlah urusanmu dengannya.” (Mushannaf Ibn Abi Syaibah, no. 17153. Mushannaf ‘Abdurrozzaq, no. 10462. Dinilai sahih oleh Al-Albani)

Dari Al-A’masy, dari Syaqiq, beliau berkata:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ يُقَالَ لَهُ أَبُو جَرِيرٍ فَقَالَ: إِنِّي تَزَوَّجْتُ جَارِيَةً شَابَّةً، وَإِنِّي أَخَافُ أَنْ تَفْرَكَنِي قَالَ: فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ: «إِنَّ الْإِلْفَ مِنَ اللَّهِ، وَالْفَرْكَ مِنَ الشَّيْطَانِ، يُرِيدُ أَنْ يُكَرِّهَ إِلَيْكُمْ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ، فَإِذَا أَتَتْكَ فَمُرْهَا أَنْ تُصَلِّيَ وَرَاءَكَ رَكْعَتَيْنِ

“Telah datang seorang lelaki kepada ‘Abdullah yang mana dia dikenal dengan nama Abu Jarir lalu berkata:

“Sesungguhnya aku telah menikahi seorang gadis yang masih muda dan perawan, dan sesungguhnya aku sangat takut jika dia tidak menyukaiku.”

Maka ‘Abdullah (Ibnu Mas’oud) berkata:

“Sesungguhnya keintiman (kemesraan) itu dari Allah dan kerenggangan itu dari syaitan. Syaitan itu ingin menjadikan kalian membenci apa yang dihalalkan Allah bagi kalian. Oleh itu, jika isterimu mendatangimu (yakni di pertama kali untuk berhubungan), suruhlah dia solat dua raka’at di belakangmu.” (Mushannaf ‘Abdurrozzaq, no. 10460. Mushannaf Ibn abi Syaibah, no. 17156)

Dalam riwayat ‘Abdurrazzaq dari Al-A’masy, Al-A’masy berkata:

“Lalu aku menceritakannya kepada Ibrahim. Dia berkata bahawa ‘Abdullah (Ibnu Mas’oud) mengatakan:

“Dan ucapkanlah (yakni setelah solat tersebut):

اللَّهُمَّ، بَارِكْ لِي فِي أَهْلِي، وَبَارِكْ لَهُمْ فِيَّ، اللَّهُمَّ ارْزُقْنِي مِنْهُمْ، وَارْزُقْهُمْ مِنِّي، اللَّهُمَّ، اجْمَعْ بَيْنَنَا مَا جَمَعْتَ إِلَى خَيْرٍ، وَفَرِّقْ بَيْنَنَا إِذَا فَرَّقْتَ إِلَى خَيْرٍ

“Ya Allah, berikanlah berkah kepadaku pada keluargaku dan berikanlah berkah kepada mereka dengan keberadaan diriku. Ya Allah, rezekikanlah aku dengan sebab mereka, dan rezekikanlah mereka dengan sebab aku. Ya Allah, satukanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan dan pisahkanlah antara kami (berdua) apabila perpisahan itu dalam kebaikan.” (Mushannaf ‘Abdurrozzaq, no. 10460)

Dalil-dalil dari atsar ini menunjukkan adanya solat sunnah sebaik pernikahan di saat pertama kali akan bersama isteri berserta dengan doa-doa yang sunnah untuk dibaca. Dalil-dalil atsar ini dianggap marfu’ oleh para ulama kerana tidak ada sahabat lain yang menyelisihinya atau menentangnya.

Dalam riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah, juga terdapat doa seumpama. Dari riwayat ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari datuknya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا تَزَوَّجَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً أَوِ اشْتَرَى خَادِمًا، فَلْيَقُلِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَمِنْ شَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ، وَإِذَا اشْتَرَى بَعِيرًا فَلْيَأْخُذْ بِذِرْوَةِ سَنَامِهِ وَلْيَقُلْ مِثْلَ ذَلِكَ

“Apabila salah seorang dari kalian baru menikahi seorang perempuan atau membeli seorang hamba, maka ucapkanlah:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَمِنْ شَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada Engkau kebaikannya dan kebaikan apa-apa yang Engkau ciptakan padanya. Dan aku berlindung kepada Engkau dari keburukannya dan apa-apa keburukan yang Engkau ciptakan padanya.” (Sunan Abi Dawud, no. 2160. Sunan Ibn Majah, no. 2252)

Al-Imam Abu Dawud berkata:

زَادَ أَبُو سَعِيدٍ، ثُمَّ لِيَأْخُذْ بِنَاصِيَتِهَا وَلْيَدْعُ بِالْبَرَكَةِ فِي الْمَرْأَةِ وَالْخَادِمِ

“Abu Sa’id menambah, “Kemudian hendaklah dia memegang ubun-ubunya dan berdoa dengan keberkahan pada wanita yang dia nikahi atau hamba yang dibelinya.”

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menyatakan:

وينبغي أن يضع يده على مقدمة رأسها عند البناء بها أو قبل ذلك وأن يسمي الله تبارك وتعالى ويدعو بالبركة ويقول ما جاء في قوله صلى الله عليه و سلم

“Hendaklah dia (seorang suami) meletakkan tangannya di awal depan kepala (yakni ubun-ubun) isterinya di saat berduaan dengannya atau sebelumnya. Dan hendaklah dia menyebutkan nama Allah Tabaraka wa Ta’ala serta mendoakan dengan keberkahan dan mengucapkan doa sebagaimana dalam hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.” (Adabuz Zifaaf oleh Al-Albani, m/s. 19)

Dalam riwayat yang lain, doa ini turut diucapkan di saat baru membeli unta tunggangan sambil memegang bonggolnya. Lalu menurut Syaikh Al-Albani, doa ini juga boleh diucapkan di saat baru mendapatkan kenderaan yang baru.

Wallaahu a’lam.

Disarikan dari buku:

1, Adabuz Zifaf fis Sunnatil Muthahharah oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah. dan

2, Bughyatul Mutathawwi’ fii Sholaatit Tathawwu’ oleh Syaikh Dr. Muhammad bin ‘Umar Salim Bazmul hafidzahullah.