Menyibukkan Diri Dengan Ilmu dan Ibadah Di Saat Badai fitnah Melanda
Al-Ustaz Dzulqarnain M. Sunusi
Dari buku Pedoman Syariat Dalam Menilai Peristiwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
الْعِبَادَةُ فِي الْهَرْجِ كَهِجْرَةٍ إِلَيَّ
“Beribadah pada masa al-harj (fitnah) bagaikan berhijrah kepadaku.”[1]
Makna harj (هَرْجٌ) diterangkan dalam hadits lain sebagai pembunuhan. Namun, makna harj dalam hadits di atas adalah fitnah (pergolakkan) dan kesamaran perkara. Oleh kerana itu, dalam sebahagian riwayat disebutkan,
الْعِبَادَةُ فِي الْفِتْنَةِ كَالْهِجْرَةِ إِلَيَّ
“Beribadah pada masa fitnah bagaikan berhijrah kepadaku.”[2]
Imam An-Nawawy rahimahullah (Wafat: 676H) berkata:
“Yang dimaksudkan dengan harj di sini adalah fitnah dan kesamaran perkara-perkara manusia disebabkan banyaknya keutamaan ibadah pada saat fitnah, (ini adalah) kerana manusia lalai dari ibadah dan disibukkan dari (ibadah) serta tiada yang fokus untuk beribadah, kecuali orang-orang yang tertentu.”[3]
Pada masa fitnah, jiwa menjadi panas dan fikiran sering tidak jernih. Maka, siapa saja yang menyibukkan dirinya dengan ibadah, sungguh keadaannya pada masa fitnah akan menjadi lebih baik.
Kata ibadah dalam hadits bermakna umum, mencakup seluruh amalan mahupun perbuatan yang Allah cintai dan redhai, sama ada yang zahir mahupun yang batin.
Tiada ibadah yang lebih indah untuk seorang hamba pada masa fitnah melebihi menuntut ilmu syari’at. Imam Az-Zuhriy rahimahullah berkata:
ما عبد الله بشيء أفضل من العلم
“Tidaklah Allah diibadahi dengan sesuatu yang lebih utama daripada menuntut ilmu.”[4]
Ilmu agama adalah ruh seorang hamba sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (52)
“Dan demikianlah Kami mewahyukan kepadamu ruh (Al-Qur’an) dengan perintah kami. Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apa Al-Kitab (A-Qur’an) tidak pula mengetahui apa iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an itu sebagai cahaya yang Kami memberi petunjuk dengan (cahaya) itu siapa saja yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. Dan sesungguhnya engkau benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Surah Asy-Syura, 42: 52)
Dengan ilmu, seorang hamba akan hidup dengan sebenar-benar kehidupan,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila (rasul) menyeru kalian kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian.” (Surah Al-Anfal, 8: 24)
Hidup tanpa bimbingan ilmu bagaikan mayat di tengah kegelapan. Allah Jalla jalallah mengingatkan,
أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا
“Dan adakah orang yang sudah mati, kemudian Kami hidupkan dan kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan (cahaya) itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap-gelita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari (gelap-gelita) tersebut?” (Surah Al-An’am, 6: 122)
Ilmu agama adalah cahaya yang menerangi pada segala keadaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا (174)
“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian bukti kebenaran dari Rabb kalian (Muhammad dengan mukjizatnya) dan Kami telah menurunkan kepada kalian cahaya yang terang benderang (Al-Qur’an).” (Surah An-Nisa’, 4: 174)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّين
“Siapa saja yang Allah kehendaki kebaikkan kepadanya, (Allah) akan menjadikan dia faqih (faham) akan agamanya.”[5]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengingatkan pula,
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah siapa saja yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.”[6]
Banyak lagi keutamaan dan kebaikan ilmu agama yang terungkai dengan jelas dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Tertulis dalam karya ulama, ilmu dan keutamaan ilmu berupa ratusan buku dengan berbagai perbahasan.
Di antara dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu di tengah-tengah badai fitnah melanda adalah perdamaian yang terjadi antara Mu’awiyah dan Al-Hasan bin ‘Ali –semoga Allah meredhai mereka semua-, suatu perdamaian yang menyelamatkan darah kaum muslimin dan memelihara harta dan keluarga mereka.
Perdamaian tersebut terjadi pada tahun 41H sehingga tahun tersebut disebut sebagai Tahun Persatuan. Al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma mengalah bukan kerana lemah, takut, hina, atau kurang kekuatan, melainkan kerana sampainya sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (kepada Al-Hasan pada ketika itu).
Al-Hasan berkata,
“Saya mendengar Abu Bakrah berkata, “Saya melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam di atas mimbar, manakala Al-Hasan bin ‘Ali berada di sisi beliau. (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam) sesekali menghadap kepada manusia dan sesekali menghadap kepada Al-Hasan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيمَتَيْنِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ
“Sesungguhnya anakku ini adalah seorang pemimpin. Barangkali Allah akan menjadikan perdamaian dengan perantaranya di antara dua kelompok besar kaum muslimin (yang sedang bertikai).”[7]
Allahu Akbar… betapa besarnya kebaikan ilmu. Satu hadits yang Abu Bakrah hafal menjadi sebab terjadinya pelbagai kebaikan dan terhindarnya pelbagai petaka.
Selain itu, di antara dalil tentang ibadah pada masa fitnah adalah hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. Beliau berkata,
“Suatu malam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam terbagun dengan keadaan terkejut seraya bersabda,
سُبْحَانَ اللَّهِ مَاذَا أُنْزِلَ مِنْ الْخَزَائِنِ وَمَاذَا أُنْزِلَ مِنْ الْفِتَنِ مَنْ يُوقِظُ صَوَاحِبَ الْحُجَرِ يُرِيدُ بِهِ أَزْوَاجَهُ حَتَّى يُصَلِّينَ رُبَّ كَاسِيَةٍ فِي الدُّنْيَا عَارِيَةٌ فِي الْآخِرَةِ
“Subhanallah, apakah yang Allah turunkan dari perbendaharaan-perbendaharaan dan apakah yang Allah turunkan dari fitnah! Bangunkanlah para pemilik kamar –yakni isteri-isteri beliau- agar mereka melaksanakan solat. Kadang seorang perempuan berpakaian di dunia, tetapi telanjang pada hari Kiamat.”[8]
Beliau memerintahkan untuk membangunkan isteri-isterinya agar melaksanakan ibadah pada malam hari berupa solat, doa, dan ibadah yang lainnya agar terhindar dari fitnah.
Selanjutnya, di antara nasihat yang sangat bermakna saat fitnah bergolak adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepada ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma,
تعمل بما تعرف، وتدع ما تنكر، وتعمل بخاصة نفسك، وتدع عوام الناس
“Hendaklah engkau beramal dengan hal yang ma’ruf, Engkau meninggalkan sesuatu yang Engkau ingkari, dan Engkau mengamalkan (amalan) khusus (memperbaiki diri dan agama)mu, serta meninggalkan manusia yang awam.”[9]
Semoga Allah Ta’ala sentiasa memberi kemudahan untuk kita semua dalam mengingat-Nya serta bersyukur dan memperbaiki ibadah kepada-Nya.
[1] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 2948. dan Ibnu Majah, no. 3985, dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu.
[2] Diriwayatkan oleh Ahmad, 5/27. Ibnu Abi Syaibah, 14/67, no. 38295. ‘Abd bin Hunaid, no. 402. Bahsyal dalam Tarikh Wasith, hal. 144. Ath-Thabarany, no. 492-493, dan Abu Nu’iam dalam Al-Hilyah, 3/62.
[3] Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 18/88-89.
[4] Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 3/365.
[5] Diriwayatkan oleh Al-Bukhary, no. 71, 3116, 7312. dan Muslim 2/718-719. 3/1524, no. 1037.
[6] Diriwayatkan oleh Al-Bukhary, no. 5027. Abu Dawud, no. 1452. At-Tirmidzy, no. 2907-2908. dan An-Nasa’iy, dalam Al-Kubra, no. 7983. dan Ibnu Majah, no. 211-212.
[7] Diriwayatkan oleh Al-Bukhary, no. 2704, 3629, 3746, 7109. Abu Dawud no. 4662. At-Tirmidzy, no. 3773. dan An-Nasa’iy, no. 1410.
[8] Diriwayatkan oleh Al-Bukhary, no. 115, 1126, 3599, 5844, 6218, 7069. dan At-Tirmidzy, no. 2196.
[9] Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, no. 1849 dan selainnya dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Demikian juga diriwayatkan dari hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma. Disahihkan oleh Al-Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shahihah, no. 5 dan 6.