Kewajiban Menghormati Ilmu dan Ulama

Kewajiban Menghormati Ilmu dan Ulama

Al-Ustadz Dzulqarnain bin M. Sunusi hafizhahullah

ulama-racun

Termasuk prinsip pokok Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah penghormatan kepada ilmu dan ulama. Itu adalah agama yang dianut dan Sunnah yang harus dijaga oleh muslim dan muslimah, apatah lagi oleh seorang penuntut ilmu agama.

Allah ‘Azza wa Jalla telah menjelaskan kedudukan ulama dalam banyak ayat. Di antaranya adalah firman Allah Ta’âlâ,

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Allah mempersaksikan bahawasanya tiada ilah (yang berhak diibadahi), kecuali Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tiada ilah (yang berhak diibadahi), kecuali Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [Surah Âli ‘Imrân, 3: 18]

Pada ayat di atas, terdapat keutamaan ulama dari beberapa sisi[1]:

1, Allah mempersaksikan untuk diri-Nya sendiri, dan mengikutkan makhluknya yang paling mulia di sisi-Nya, iaitu para malaikat dan para ulama.

2, Allah menggandengkan persaksian Ulama dengan persaksian-Nya sendiri.

3, Allah menggandengkan persaksian Ulama dengan persaksian para malaikat.

4, Di antara manusia, Allah hanya menyebut para ulama dalam persaksian tersebut.

5, Terdapat kelurusan jalan dan keadilan mereka, kerana tidak akan diikutkan dalam persaksian kecuali orang-orang adil yang diterima persaksiannya.

6, Persaksian tersebut adalah terkait dengan perkara yang paling agung, paling besar, dan paling mulia, iaitu memurnikan tauhid yang terkandung dalam syahadat Lâ Ilâha Illallâhu.

7, Penyifatan ulama sebagai orang-orang yang berilmu menunjukkan bahawa mereka memiliki keahlian dalam ilmu, bukan sekadar penamaan.

Juga, di antara keutamaan ulama adalah Allah Jalla Jalâluhu menjadikan manusia hanya ke dalam dua golongan: orang yang berilmu dan orang jahil yang tidak dapat melihat, sebagaimana dalam firman-Nya,

أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Adakah orang yang mengetahui bahawasanya apa-apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.” [Surah Ar-Ra’d, 13: 19]

Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Tiada (siapapun) di sana, kecuali seorang alim atau seorang buta. (Allah) Subhânahu telah menyifatkan orang-orang jahil bahawa mereka adalah tuli, bisu, dan buta pada banyak tempat dalam kitab-Nya.”[2]

Keutamaan ulama yang lainnya adalah bahawa merekalah yang mampu menilai suatu kebenaran dan tegar membela kebenaran. Allah berfirman,

وَيَرَى الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ الَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ هُوَ الْحَقَّ وَيَهْدِي إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ

“Dan orang-orang yang diberi ilmu berpendapat bahawa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu itulah yang benar dan yang menunjuki (manusia) kepada jalan (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” [Surah Saba’, 34: 6]

Pada saat terjadi fitnah, mereka tidak goyah oleh keadaan apapun. Perhatikanlah tatkala manusia pada masa Nabi Musa ‘alaihis Salâm terfitnah oleh Qarun yang kaya raya, sebagaimana yang Allah ‘Azza Sya`nuhu kisahkan dalam Kitab-Nya,

فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ

“Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia, ‘Wahai andaikata kita mempunyai seperti apa-apa yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan besar.’.” [Surah Al-Qashash, 28: 79]

Namun, perhatikanlah sikap orang-orang yang berilmu,

وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللَّهِ خَيْرٌ لِمَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الصَّابِرُونَ

“Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu, ‘Kecelakaan besarlah bagi kalian. Pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal soleh. Dan tidaklah pahala itu diperoleh, kecuali oleh orang-orang yang sabar.’.” [Al-Qashash, 28: 80]

Setelah itu, tampaklah bahawa kebenaran berpihak kepada orang-orang yang berilmu. Dalam kelanjutan surah disebutkan,

فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ الْأَرْضَ فَمَا كَانَ لَهُ مِنْ فِئَةٍ يَنْصُرُونَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُنْتَصِرِينَ ، وَأَصْبَحَ الَّذِينَ تَمَنَّوْا مَكَانَهُ بِالْأَمْسِ يَقُولُونَ وَيْكَأَنَّ اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَوْلَا أَنْ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا لَخَسَفَ بِنَا وَيْكَأَنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ ، تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

“Maka Kami membenamkan Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tiada suatu golongan pun baginya yang menolongnya terhadap azab Allah. Dan tiadalah dia tergolong sebagai orang-orang (yang dapat) membela (dirinya). Dan jadilah orang-orang, yang kemarin mencita-citakan kedudukan Qarun itu, berkata,

‘Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa saja yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan menyempitkan (rezeki) bagi siapa saja yang Dia kehendaki; kalaulah Allah tidak melimpahkan kurnia-Nya atas kita, benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidaklah beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah).’

Itulah negeri akhirat. Kami menjadikan (negeri) itu untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerosakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa.” [Surah Al-Qashash, 28: 81-83]

Di atas makna kisah tersebut, Al-Hasan Al-Bashry rahimahullâh berkata,

إِنَّ الْفِتْنَةَ إِذَا أَقْبَلَتْ عَرَفَهَا الْعَالِمُ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ عَرَفَهَا كُلُّ جَاهِلٍ

“Sesungguhnya fitnah ini, apabila datang, diketahui oleh setiap ‘alim (ulama), tetapi apabila telah berlalu, (fitnah) itu barulah diketahui oleh setiap jahil.”[3]

Kemudian, salah satu keutamaan para ulama adalah bahawa Allah memerintahkan untuk bertanya dan merujuk kepada ucapan para ulama, sebagaimana dalam firman-Nya,

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada ahli dzikir jika kalian tidak mengetahui.” [Surah An-Nahl, 16: 43. Al-Anbiyâ’, 21: 7]

Ibnul Qayyim rahimahullâh menerangkan, “Ahli dzikir adalah orang-orang yang memiliki ilmu terhadap sesuatu yang Allah turunkan kepada para nabi.”[4]

Salah satu keutamaan ulama yang lainnya adalah bahawa kedudukan ayat-ayat sangatlah jelas di sisi mereka, yang hal ini berbeza dengan orang-orang selain mereka.

Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,

بَلْ هُوَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلَّا الظَّالِمُونَ

“Sebenarnya, Al-Qur`an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami, kecuali orang-orang yang zalim.” [Surah Al-’Ankabût, 29: 49]

Di antara keutamaan ulama pula adalah bahawa Allah mengangkat darjat mereka di dunia dan di akhirat, sebagaimana penjelasan Allah ‘Azza wa Jalla,

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa darjat.” [Surah Al-Mujâdilah, 58: 11]

Termasuk keutamaan mereka adalah rasa takut kepada Allah Subhânahu wa Ta’âlâ yang menghiasi hati dan jiwa mereka sehingga mereka berusaha untuk bertaqwa kepada Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya serta membela agama Allah dan tidak takut terhadap celaan para pencela.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” [Surah Fâthir, 35: 28]

Selanjutnya, keutamaan ulama yang lainnya adalah ketelitiannya dalam memahami ilmu, kekuatan akal, dan pemahaman yang baik sebagaimana firman Allah Jalla Jalâluhu,

وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ

“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya, kecuali orang-orang yang berilmu.” [Surah Al-‘Ankabût, 29: 43]

Lalu, salah satu keutamaan ulama adalah bahawa “cahaya” mereka yang menerangi manusia dan memiliki ruh kehidupan. Siapa saja yang tidak masuk ke dalam lingkaran ilmu agama dan ulama pastilah dianggap sebagai orang yang mati, walaupun dia berjalan dan beraktiviti di atas muka bumi.

Allah Azzat ‘Azhamatuhu berfirman,

أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْكَافِرِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Dan adakah orang yang sudah mati, kemudian Kami hidupkan dia dan Kami berikan cahaya terang kepadanya, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap-gelita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari (kegelapan) tersebut? Demikianlah Kami menjadikan orang kafir itu memandang baik apa-apa yang telah mereka kerjakan.” [Surah Al-An’âm, 6: 122]

Imam Al-Âjurry rahimahullâh berkata,

“Bagaimanakah sangkaan kalian rahimakumullâh pada suatu jalan yang memiliki banyak kerosakan, sedang manusia perlu melewati jalan tersebut pada malam yang gelap-gelita. Apabila tidak terdapat cahaya, pastilah mereka akan kebingungan. Kemudian, untuk mereka, Allah memudahkan (berupa) lentera-lentera yang menerangi mereka hingga mereka melewati (jalan itu) dengan selamat dan afiyat. Lalu, datang beberapa lapisan manusia yang juga harus melewati jalan tersebut maka mereka pun melewati (jalan) itu. Tatkala mereka berada dalam keadaan demikian, tiba-tiba lentera-lentera tersebut padam sehingga mereka berada dalam kegelapan. Bagaimanakah sangkaan kalian terhadap (orang-orang tersebut)?

Demikianlah para ulama di tengah-tengah manusia. Banyak manusia yang tidak mengetahui cara menunaikan kewajiban-kewajiban, juga cara meninggalkan hal-hal yang diharamkan, serta tidak (mengetahui) bagaimana menyembah Allah pada segala jenis ibadah yang (diwajibkan) kepada makhluk, kecuali dengan keberadaan para ulama. Apabila ulama meninggal, manusia akan kebingungan dan ilmu akan menghilang dengan kematian mereka, serta kejahilan akan tampak. Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn. Betapa besar musibah itu terhadap kaum muslimin.”[5]

Keutamaan ulama yang lainnya adalah bahawa, di antara ulama, ada yang akan tetap membela dan menampakkan kebenarannya hingga hari kiamat. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan,

لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ

“Terus-menerus ada sekelompok dari umatku yang tetap tampak di atas kebenaran. Orang yang meninggalkan mereka tidak mem­bahayakan mereka sampailah datang ketentuan Allah (hari kiamat), sedang mereka tetap dalam keadaan seperti itu.”[6]

Salah satu keutamaan ulama adalah bahawa merekalah yang menjaga agama ini dengan menjawab segala tuduhan dan menepis segala syubhat (kerancuan, kesamaran) yang dimasukkan ke dalam agama, sebagaimana dalam sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam,

يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ الْـمُبْطِلِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ

“Ilmu (agama) ini akan disandang (dibawa) pada setiap generasi oleh orang-orang yang adil. Darinya, mereka akan menepis tahrîf (perubahan, penyelewengan) oleh orang-orang yang melampaui batas, jalan para ahli kebatilan, dan takwil orang-orang yang jahil.”[7]

Juga, di antara keutamaan ulama adalah bahawa keberadaan mereka di tengah kaum muslimin merupakan keberkahan untuk kaum muslimin. Dari Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ

“Berkah itu bersama orang-orang tua (ulama) kalian.”[8]

Demikianlah secara ringkas beberapa gambaran kedudukan ulama dalam Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, serta sedikit keterangan dari ulama tentang hal tersebut.

Setiap pengikut Sunnah yang mencermati dalil-dalil di atas dan selainnya pasti mengetahui kewajiban untuk menghormati dan menghargai para ulama, serta mengagungkan kedudukan mereka di tengah umat agar mengajak umat untuk rujuk dan mengembalikan segala masalah agama mereka kepada para ulama. Kerana, mereka adalah pewaris para nabi yang membawa ilmu dan petunjuk serta dakwah yang bersih dari penyimpangan.

Termasuk musibah yang menimpa umat, mencela dan merendahkan para ulama yang mengakibatkan banyak kerosakan di tengah kaum muslimin dan di kalangan penuntut ilmu secara khusus.

Imam Sahl bin Abdillah At-Tastury rahimahullâh berkata,

لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَظَّمُوا السُّلْطَانَ وَالْعُلَمَاءَ، فَإِذَا عَظَّمُوا هَذَيْنَ أَصْلَحَ اللَّهُ دُنْيَاهُمْ وَأُخْرَاهُمْ، وَإِذَا اسْتَخَفُّوا بهذين أَفْسَدُوْا دَنْيَاهُمْ وَأُخْرَاهُمْ

“Manusia akan terus menerus berada di atas kebaikan selama mereka masih mengagungkan sulthan dan ulama. Tatkala mereka mengagungkan keduanya, Allah akan memperbaiki dunia dan akhirat mereka. Apabila mereka menghinakan keduanya, mereka telah merusak dunia dan akhirat mereka sendiri.”[9]

Kedudukan ulama tidak boleh digoyah dengan alasan apapun kerana pelbagai kerosakan dan mafsadat yang muncul di balik hal tersebut.

Akan tetapi, maksudnya bukanlah bahawa Kita menganggap ulama sebagai orang-orang ma’shum dan selamat dari kesalahan. Para ulama juga adalah manusia yang tentu melakukan kesilapan, lupa, dan alpa. Bukan juga bererti tidak boleh menasihatinya dan mengkritik ucapannya.

Demikian pula sebaliknya. Ketika berbicara tentang ulama, seseorang tidak dibolehkan berdusta, dan tiak boleh beradab buruk terhadap mereka serta mencela mereka dengan kalimat-kalimat yang tidak layak yang jauh dari etika seorang murid kepada guru-gurunya. Siapa saja yang melakukan hal tersebut, sungguh itu adalah tanda keburukan.

Maimûn bin Mihrân rahimahullâh berkata,

لا تُمَارِ مَنْ هُوَ أَعْلَمُ مِنْكَ، فَإِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ خَزَنَ عَنْكَ عِلْمَهُ وَلَمْ يَضُرَّهُ مَا قُلْتَ شَيْئًا

“Janganlah engkau mendebat siapa saja yang lebih berilmu daripada engkau. Apabila engkau melakukan hal tersebut, ilmunya akan tersimpan darimu, sedangkan ucapanmu tidak akan membahayakan dia sama sekali.”[10]

Imam Az-Zuhry rahimahullâh berkata,

كَانَ أَبُو سَلَمَةَ يُمَارِي ابْنَ عَبَّاسٍ فَحُرِمَ بِذَلِكَ عِلْمًا كَثِيرًا

“Dahulu Abu Salamah mendebat Ibnu ‘Abbâs maka dia pun diharamkan dari ilmu yang banyak.”[11]

Burhanuddin Az-Zurnûjy rahimahullâh berkata, “Ketahuilah bahawa seorang penuntut ilmu tidak akan mendapatkan ilmu dan tidak mengambil manfaat (ilmu), kecuali dengan mengagungkan ilmu dan ahli (ilmu), mengagungkan dan menghormati ustadznya. Telah dikatakan bahawa “Tidaklah sampai (apa-apa yang dituju) oleh orang yang telah mencapainya, kecuali dengan penghormatan, tidak pula jatuh siapa saja yang telah terjatuh, kecuali kerana meninggalkan penghormatan”.”[12]

Wallaahu a’lam.


[1] Ibnul Qayyim menyebutkan sepuluh sisi dalam Miftâh Dârus Sa’âdah 1/50-51. Saya menyarikan tujuh sisi saja.

[2] Miftâh Dârus Sa’âdah 1/51.

[3] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dalam At-Tarikh 4/271, Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqât 7/84, dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 9/24.

[4] Miftâh Dârus Sa’âdah 1/52.

[5] Akhlaqul ‘Ulamâ’ hal. 30-31.

[6] Hadits mutawâtir, riwayat Al-Bukhâry, Muslim, dan selainnya. Lihatlah takhrîj-nya dalam Silsilah Al-Ahâdîts Ash-Shahîhah no. 270, 1955-1962 karya Imam Al-Albâny. Dinyatakan mutawâtir oleh Ibnu Taimiyah dan selainnya. Bacalah Nazhm Al-Mutanâtsir Min Al-Ahâdîts Al-Mutawâtir hal. 151 karya Al-Kattâny.

[7] Diriwayatkan oleh sejumlah shahabat radhiyallâhu ‘anhum, dan ini adalah hadits yang kuat dari seluruh jalannya. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny dalam ta’liq terhadap Misykâtul Mashâbîh.

[8] Diriwayatkan oleh Ath-Thabarâny dalam Al-Ausath, Al-Hâkim, Ibnu Hibbân, dan lain-lain. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny dalam Silsilah Ahâdîts Ash-Shahîhah no. 1778.

[9] Tafsîr Al-Qurthuby 5/260-261.

[10] Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dari Jâmi` Bayân Al-’Ilm wa Fadhlihi 1/517 no. 836.

[11] Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dari Jâmi` Bayân Al-’Ilm wa Fadhlihi 1/517-518 no. 837.

[12] Ta’lîm Al-Muta’allim hal. 25.