Hari Kebangkitan Dan Perhitungan Amal di Mizan

Hari Kebangkitan Dan Perhitungan Amal di Mizan

Syaikh Muhammad B. Soleh Al-‘Utsaimin rahimahullah
Syarah Lum’atul I’tiqaad Al-Haadii ilaa Sabiilir Rosyaad
www.ilmusunnah.com

Imam Ibnu Qudamah rahimahullah (Wafat: 620H) berkata:

ويحشر الناس يوم القيامة حفاة عراة، غرلا، بهما، فيقفون في موقف القيامة حتى يشفع فيهم نبينا محمد صلى الله عليه وسلم، ويحاسبهم الله تبارك وتعالى وتنصب الموازين وتنشر الدواوين وتتطاير صحائف الأعمال إلى الأيمان والشمائل { فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ }{ فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا }{ وَيَنْقَلِبُ إِلَى أَهْلِهِ مَسْرُورًا }{ وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ }{ فَسَوْفَ يَدْعُو ثُبُورًا } { وَيَصْلَى سَعِيرًا } [ الانشقاق: 7 – 12 ] ، والميزان له كفتان ولسان توزن به الأعمال { فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ }{ وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ فِي جَهَنَّمَ خَالِدُونَ } [ المؤمنون: 102 – 103 ]

“Pada hari Kiamat, manusia akan dikumpulkan dalam keadaan tanpa alas kaki, bertelanjang, dan belum dikhitan serta tanpa membawa sebarang apa pun. Mereka berdiri di padang (Mahsyar) sehingga diberi syafa’at oleh Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dan Allah Tabaraka wa Ta’ala menghisab (amal-amal) mereka, dan al-mawaaziin (timbangan-timbangan) pun ditegakkan, buku-buku catatan amal diedarkan, dan ia berterbangan ke (tangan) kanan dan kiri. (Firman Allah Ta’ala):

“Adapun orang yang diberikan buku catatan dari sebelah kanannya, maka dia akan dihisab dengan hitungan yang mudah, dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira. Adapun orang-orang yang diberikan buku catatannya dari belakang, maka dia akan berteriak, “Celaka-lah aku.” Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala.” (Surah Al-Insyiqaaq, 84: 7-12)

Dan al-Miizaan (timbangan) memiliki dua daun (neraca) timbangan dan satu lisaan (tiang penyanggah) yang dengannya ditimbang amal-amal (manusia). (Firman Allah):

“Sesiapa yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan sesiapa yang ringan timbangannya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam Jahannam.” (Surah Al-Mukminuun, 23: 102-103).” (Ibnu Qudamah, Lum’atul I’tiqaad, no. 60)

Syarah/Huraian

البعث والحشر (Hari kebangkitan dan dikumpulkannya (manusia))

البعث Secara bahasa adalah الإرسال، والنشر (melepas dan membangkitkan). Dan secara syara’ adalah menghidupkan mereka yang telah mati pada hari Kiamat.

الحشر Secara bahasa adalah الجمع (mengumpulkan). Dan secara syara’ adalah mengumpulkan (atau menghimpunkan) semua makhluk pada hari Kiamat untuk menghisab mereka dan menghukumi di antara mereka.

Hari kebangkitan dan perhimpunan hisab (di padang Mahsyar) adalah haq (benar), ia tsabit (ditetapkan) berdasarkan Al-Kitaab (Al-Qur’an), As-Sunnah, dan ijmaa’ al-muslimiin.

Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ بَلَى وَرَبِّي لَتُبْعَثُنَّ

“Katakanlah, “Sebaliknya demi Rabb-ku, kalian benar-benar akan dibangkitkan.”…” (Surah At-Taghaabun, 64: 7)

Dan firman Allah Ta’ala:

قُلْ إِنَّ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ (49) لَمَجْمُوعُونَ إِلَى مِيقَاتِ يَوْمٍ مَعْلُومٍ

“Katakanlah, “Sesungguhnya orang-orang terdahulu dan yang terkemudian benar-benar akan dikumpulkan di waktu dan hari yang ma’lum (diketahui).”.” (Surah Al-Waaqi’ah, 56: 49-50)

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى أَرْضٍ بَيْضَاءَ عَفْرَاءَ، كَقُرْصَةِ النَّقِيِّ، لَيْسَ فِيهَا عَلَمٌ لِأَحَدٍ

“Manusia akan dikumpulkan pada hari Kiamat di atas bumi yang putih kemerah-merahan seperti roti tepung yang putih bersih yang padanya tidak ada sebarang tanda (penunjuk, rumah, atau bangunan).” (Shahih Al-Bukhari, no. 6521. Muslim, no. 2790)

Dan kaum muslimin ijmaa’ (bersepakat) tentang adanya hari perhimpunan (al-hasyr) di hari kiamat.

Mereka akan dikumpulkan dalam keadaan tanpa alas kaki tidak berkasut, telanjang tidak berpakaian, dan belum dikhitan berdasarkan firman Allah Ta’ala:

كَمَا بَدَأْنَا أَوَّلَ خَلْقٍ نُعِيدُهُ وَعْدًا عَلَيْنَا إِنَّا كُنَّا فَاعِلِينَ

“Sebagaimana Kami telah menciptakannya di awalnya, begitulah Kami mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya Kami-lah yang akan melaksanakannya.” (Surah Al-Anbiyaa’, 21: 104)

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (daripada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma):

تُحْشَرُونَ حُفَاةً، عُرَاةً، غُرْلًا، ثُمَّ قَرَأَ: {كَمَا بَدَأْنَا أَوَّلَ خَلْقٍ نُعِيدُهُ وَعْدًا عَلَيْنَا إِنَّا كُنَّا فَاعِلِينَ} [الأنبياء: 104] فَأَوَّلُ مَنْ يُكْسَى إِبْرَاهِيمُ

“Kalian akan dikumpulkan dalam keadaan tanpa alas kaki, bertelanjang, dan belum dikhitan.” Kemudian beliau (Nabi) membacakan (firman Allah):

“Sebagaimana Kami telah menciptakannya di awalnya, begitulah Kami mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya Kami-lah yang akan melaksanakannya.” (Surah Al-Anbiyaa’, 21: 104)

Dan yang pertama diberikan pakaian adalah Nabi Ibrahiim.” (Shahih Al-Bukhari, no. 3447. Muslim, no. 2869)

Dan dalam hadis ‘Abdullah bin Unais secara marfu’ yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:

يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عُرَاةً غُرْلًا بُهْمًا قَالَ: قُلْنَا: وَمَا بُهْمًا ؟ قَالَ: لَيْسَ مَعَهُمْ شَيْءٌ

“Dikumpulkan manusia pada hari Kiamat dalam keadaan telanjang, belum dikhitan, dan buhman. Para sahabat bertanya, “Apa itu buhman?” Jawab Rasulullah:

“Tidak ada bersama mereka sesuatu.” (Musnad Ahmad, no. 16042)

الشفاعة Asy-Syafaa’ah

Asy-Syafaa’ah menurut bahasa adalah “جعل الوتر شفعاً” (menjadikan sesuatu yang ganjil menjadi genap). Dan secara ishtilah, “التوسط للغير  بجلب منفعة، أو دفع مضرة” adalah menjadi orang tengah (perantara) bagi orang lain untuk mendapatkan manfaat atau menolak mudharah (keburukkan).

Syafaa’at pada hari Kiamat ada dua bentuk. Yang pertama, hanya khusus bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sahaja, dan yang kedua berlaku umum bagi Rasulullah dan selainnya.

Syafaa’at yang khusus bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah “شفاعتة العظمىsyafaa’atul ‘udzmaa yang diberikan kepada orang-orang di padang Mahsyar di hadapan Allah agar Allah segera memutuskan perkara mereka iaitu di saat mereka telah menemui kesusahan dan kecemasan yang tidak mampu ditanggung lagi.

Pertamanya, mereka mendatangi Nabi Adam, kemudian Nuuh, kemudian Ibrahiim, kemudian Muusaa, kemudian ‘Iisaa, dan semua mereka memohon maaf, maka mereka pun pergi kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Maka Nabi pun memohonkan syafaa’at untuk mereka kepada Allah, lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala pun datang kepada mereka untuk memutuskan perkara di antara mereka.

Dan keadaan ini disebutkan dalam sebuah hadis tentang “الصور” (sangkakala) yang masyhur, namun sanadnya dha’if (lemah) dan masih diperbincangkan sehingga dipisahkan dari hadis-hadis yang sahih dan hanya disebutkan syafaa’at bagi pelaku dosa besar sahaja.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah (Wafat: 774H) dan pensyarah kitab Ath-Thahaawiyyah berkata:

“Yang dimaksudkan oleh ulama salaf dengan hanya sekadar menyebutkan perbahasan tentang syafaa’at bagi ahlul kabaa’ir (pelaku dosa besar) adalah bertujuan membantah kaum khawarij dan para pengikut mereka dari kalangan mu’tazilah.”

Dan adapun syafaa’atul ‘udzmaa, maka ianya tidak diingkari oleh al-mu’tazilah dan al-khawarij.

Dan syafaa’at ini padanya disyaratkan mendapat keizinan Allah Ta’ala berdasarkan firman-Nya:

مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ

“… Siapakah yang dapat memberi syafaa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya?” (Surah Al-Baqarah, 2: 255)

Syafaa’at kedua adalah syafaa’at umum, iaitu syafaa’at untuk orang-orang yang masuk ke dalam Neraka dari kalangan umat Islam yang melakukan dosa besar agar mereka dapat keluar darinya setelah mereka terbakar menjadi arang, berdasarkan hadis Abi Sa’iid Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

أَمَّا أَهْلُ النَّارِ الَّذِينَ هُمْ أَهْلُهَا، فَإِنَّهُمْ لَا يَمُوتُونَ فِيهَا وَلَا يَحْيَوْنَ، وَلَكِنْ نَاسٌ أَصَابَتْهُمُ النَّارُ بِذُنُوبِهِمْ – أَوْ قَالَ بِخَطَايَاهُمْ – فَأَمَاتَهُمْ إِمَاتَةً حَتَّى إِذَا كَانُوا فَحْمًا، أُذِنَ بِالشَّفَاعَةِ

“Adpaun ahli Neraka yang mereka adalah penghuninya, maka mereka tidak mati di dalamnya dan tidak hidup, tetapi mereka yang masuk Neraka disebabkan dosa-dosa mereka atau kerana kesalahan mereka, maka Allah akan mematikan mereka sekali kematian sehingga apabila mereka telah menjadi arang, diizinkanlah dengan syafaa’at.” (Musnad Ahmad, no. 11077. Shahih Muslim, no. 185)

Syafaa’at ini dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan yang lainnya dari kalangan para Nabi, malaikat, dan kaum mukminiin berdasarkan hadis Abi Sa’iid daripada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:

فَيَقُولُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: شَفَعَتِ الْمَلَائِكَةُ، وَشَفَعَ النَّبِيُّونَ، وَشَفَعَ الْمُؤْمِنُونَ، وَلَمْ يَبْقَ إِلَّا أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ، فَيَقْبِضُ قَبْضَةً مِنَ النَّارِ، فَيُخْرِجُ مِنْهَا قَوْمًا لَمْ يَعْمَلُوا خَيْرًا قَطُّ قَدْ عَادُوا حُمَمًا

“Maka Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Para malaikat, para Nabi, dan para mukminuun memberikan syafaa’atnya, tidak ada yang tertinggal melainkan Dzat Arhamurrahmiin (yang maha kasih-sayang), lalu Allah menggenggam sebuah genggaman dari Neraka, maka keluarlah dari Neraka satu kaum yang belum pernah melakukan kebaikan sama sekali, dan mereka telah terbakar menjadi arang.” (Shahih Muslim, no. 183)

Dan syafaa’at jenis inilah yang diingkari oleh Al-Mu’tazilah dan Al-Khawarij. Pengingkaran mereka terhadap syafaa’at ini terbina berdasarkan mazhab mereka yang menganggap pelaku dosa besar akan kekal di Neraka, maka tidak ada syafaa’at yang bermanfaat untuk mereka.

Dan pendapat mereka ini dapat kita bantah dengan hal berikut:

1, Pendapat mereka tersebut bertentangan dengan hadis-hadis yang mutawatir dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

2, Pendapat ini juga menyelisihi ijmaa’ para ulama salaf.

Dan syafaa’at ini wajib memenuhi dua syarat:

1, Syafaa’at ini diizinkan oleh Allah Ta’ala berdasarkan firman-Nya:

مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ

“… Siapakah yang dapat memberi syafaa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya?” (Surah Al-Baqarah, 2: 255)

2, Redha Allah Ta’ala terhadap yang memberi syafaa’at dan diberi syafaa’at berdasarkan firman-Nya:

وَلَا يَشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَى وَهُمْ مِنْ خَشْيَتِهِ مُشْفِقُونَ

“Dan mereka tidak memberi syafaa’at melainkan kepada orang-orang yang diredhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati kerana takut kepada-Nya.” (Surah Al-Anbiyaa’, 21: 28)

Adapun bagi orang-orang kafir, maka mereka tidak akan mendapatkan syafaa’at berdasarkan firman Allah Ta’ala:

فَمَا تَنْفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ

“Maka tidaklah bermanfaat syafaa’at bagi mereka dari orang-orang yang memberikan syafaa’at.” (Surah Al-Muddats-tsir, 74: 48)

Maksudnya, anggaplah seandainya ada seseorang yang memberi syafaa’at bagi mereka, maka hal tersebut tidak akan bermanfaat bagi mereka.

Adapun syafaa’at Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepada pak cik beliau, Abu Tholib, sehingga dia hanya berada di Neraka yang paling atas (bukan yang bawah) dengan memakai sepasang selipar yang dengannya otaknya mendidih, dan dia menjadi orang yang paling ringan siksanya di Neraka. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda tentang hal ini:

وَلَوْلَا أَنَا لَكَانَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ

“Dan kalau bukan kerana aku, pastilah dia akan berada di Neraka yang paling bawah.” (Shahih Muslim, no. 209)

Ini adalah kekhususan bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan pak cik beliau, Abu Tholib sahaja. Dan hal ini disebabkan Abu Tholib banyak menolong Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan membelanya serta mendukung dakwahnya.

الحساب Al-Hisaab

Al-Hisaab secara bahasa adalah “العدد” (menghitung). Dan menurut syara’ adalah “إطلاع الله عباده على أعمالهم” (Allah memperlihatkan kepada para hamba-Nya amal-amal mereka).

Dan al-hisaab ini ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’ al-muslimiin.

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ إِلَيْنَا إِيَابَهُمْ (25) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا حِسَابَهُمْ

“Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka, kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka.” (Surah Al-Ghaasyiyah, 88: 25-26)

Bahawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah berdoa di sebahagian solatnya:

اللهُمَّ حَاسِبْنِي حِسَابًا يَسِيرًا

“Ya Allah, hisab-lah amal perbuatan-ku dengan hisab yang mudah.”

Maka ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya:

يَا نَبِيَّ اللهِ، مَا الْحِسَابُ الْيَسِيرُ؟ قَالَ: أَنْ يَنْظُرَ فِي كِتَابِهِ فَيَتَجَاوَزَ عَنْهُ

“Wahai Nabi Allah, apa dia hisab yang mudah?” Jawab Nabi:

“Allah melihat di dalam kitabnya (buku catatan amal), maka Dia hanya membiarkan darinya (memaafkannya).” (Musnad Ahmad, no. 24215)

Kata Syaikh Al-Albani, “Sanadnya jayyid.”

Dan kaum muslimin telah ijmaa’ (sepakat) atas ketetapan hisab di hari Kiamat.

Sifat hisab bagi orang-orang yang beriman adalah:

إِنَّ اللَّهَ يُدْنِي المُؤْمِنَ، فَيَضَعُ عَلَيْهِ كَنَفَهُ وَيَسْتُرُهُ، فَيَقُولُ: أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا، أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا؟ فَيَقُولُ: نَعَمْ أَيْ رَبِّ، حَتَّى إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوبِهِ، وَرَأَى فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ، قَالَ: سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا، وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ اليَوْمَ، فَيُعْطَى كِتَابَ حَسَنَاتِهِ،

“Sesungguhnya Allah mendekati kaum mu’min, lalu Allah meletakkan padanya penghadang dan menutupinya. Maka Allah berfirman:

“Tahukah engkau dosa yang ini, tahukah dosa yang itu?” Jawab orang yang ditanya:

“Ya, Rabb-ku.”

Sehinggalah ketika Allah telah membuat dia mengakui semua dosanya dan dia mengira dirinya akan binasa, Allah pun berfirman kepadanya, “Aku telah menutupi dosa-dosa ini di dunia, maka pada hari ini Aku mengampuni dosa-dosamu itu.” Lalu diberikanlah padanya buku catatan kebaikan-kebaikannya.”

Adapun bagi kaum kafir dan para munaafiq:

وَأَمَّا الكَافِرُ وَالمُنَافِقُونَ، فَيَقُولُ الأَشْهَادُ: {هَؤُلاَءِ الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى رَبِّهِمْ أَلاَ لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ} [هود: 18]

“Dan adapun orang-orang kafir dan para munaafiq, maka berkata para saksi (sebagaimana firman Allah): “Itulah orang-orang yang mendustakan Rabb mereka. Ingatlah, laknat Allah ke atas orang-orang yang zalim.” (Surah Huud, 11: 18).” (Shahih Al-Bukhari, no. 2441. Muslim, no. 2768)

Dan al-hisaab ini berlaku umum terhadap semua manusia, melainkan sesiapa yang dikecualikan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, iaitu 70,000 manusia dari kalangan umat ini, dan di antara mereka adalah ‘Ukasyah bin Mihshan, mereka akan masuk Syurga tanpa dihisab dan tanpa diadzab. (Muttafaq ‘alaih; lihat Shahih Al-Bukhari, no. 6541. Muslim, no. 220)

Imam Ahmad meriwayatkan dari hadis Tsauban secara marfu’ bahawa setiap satu orang dari mereka (yang 70,000) akan bersama dengan 70,000 orang lagi. Kata Imam Ibnu Katsir, “Hadis ini sahih dan beliau menyebutkan syawahid-nya (beberapa penguatnya).”

Dan yang pertama sekali dihisab oleh Allah adalah umat Muhammad berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:

نَحْنُ الْآخِرُونَ مِنْ أَهْلِ الدُّنْيَا، وَالْأَوَّلُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، الْمَقْضِيُّ لَهُمْ قَبْلَ الْخَلَائِقِ

“Kita adalah umat yang paling akhir dari kalangan penduduk dunia, namun yang paling awal pada hari Kiamat, diputuskan hukuman atas mereka sebelum seluruh yang lainnya.” (Shahih Muslim, no. 856)

Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’:

نَحْنُ آخِرُ الْأُمَمِ وَأَوَّلُ مَنْ يُحَاسَبُ

“Kita adalah umat yang paling akhir, tetapi paling awal dihisab.” (Sunan Ibnu Majah, no. 4280)

Amal perbuatan yang berhubung dengan hak-hak Allah yang pertama sekali akan dihisab adalah solat berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ، فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ، فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ، قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ: انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيضَةِ، ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ

“Sesungguhnya yang paling awal akan dihisab dari amalan para hamba di hari Kiamat adalah solatnya, jika baik solatnya maka akan baiklah seluruh amalnya. Jika buruk solatnya maka dia telah gagal dan rugi. Apabila kurang sempurna dari solat yang difardhukan, maka Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

“Lihatlah adakah hamba-Ku ini memiliki tathowwu’ (solat-solat sunnah) bagi menyempurnakan apa yang kurang  dari yang difardhukan kemudian barulah dihisab amal-amalnya yang lain.” (Sunan At-Tirmidzi, no. 413. Sunan An-Nasaa’i, no. 465)

Adapun yang pertama kali akan dihisab dalam urusan yang berhubung dengan hak-hak sesama manusia adalah urusan darah, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:

أَوَّلُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي الدِّمَاءِ

“Yang paling awal akan dihisab antara sesama manusia pada hari Kiamat adalah urusan darah.” (Shahih Al-Bukhari, no. 6864. Muslim, no. 1678)

الموازين (Timbangan)

Al-Mawaaziin adalah jama’ dari miizaan, dan secara bahasa adalah “ما تقدر به الأشياء خفة وثقلاً” (apa yang digunakan untuk menentukan (berat atau ringannya) sesuatu). Dan secara syara’ adalah “ما يضعه الله يوم القيامة لوزن أعمال العباد” (apa yang Allah letakkan di hari Kiamat untuk menimbang amal-amal para hamba).

Bukti (dalil) adanya timbangan ini ditunjukkan oleh Al-Kitab (al-Qur’an), as-Sunnah, dan ijmaa’ para salaf.

Allah Ta’ala berfirman:

فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (102) وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ فِي جَهَنَّمَ خَالِدُونَ

“Sesiapa yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan sesiapa yang ringan timbangannya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam Jahannam.” (Surah Al-Mukminuun, 23: 102-103)

Dan firman Allah Ta’ala:

وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَإِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِينَ

“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tidaklah akan dizalimi seseorang walaupun sedikit. Dan jika amalan itu hanya seberat biji dari sawi pun, pasti Kami datangkan dengannya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat hisabnya.” (Surah Al-Anbiyaa’, 21: 47)

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

كَلِمَتَانِ حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ، خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ، ثَقِيلَتَانِ فِي المِيزَانِ: سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ، سُبْحَانَ اللَّهِ العَظِيمِ

“Dua kalimat yang dicintai oleh Ar-Rahmaan, ringan di lisaan (ucapan), tetapi berat di Al-Miizaan (timbangan). (Iaitu) Subhanallaahi wa bihamdihi, Subhanallaahil ‘Adziim.” (Shahih Al-Bukhari, no. 7563. Muslim, no. 2694)

Dan ini adalah timbangan yang hakiki, memiliki dua sisi (daun) timbangan, berdasarkan hadis ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash daripada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang pemilik kad (bithaaqah), sabdanya:

فَتُوضَعُ السِّجِلَّاتُ فِي كَفَّةٍ وَالبِطَاقَةُ فِي كَفَّةٍ

“Maka diletakkan buku catatan di salah satu sisi (daun atau neraca) timbangan, dan bithaaqah pula di satu sisi lainnya…” (Musnad Ahmad, no. 6994. Sunan At-Tirmidzi, no. 2639)

Para ulama berselisih sama ada timbangan itu hanya ada satu, atau ada banyak?

Sebahagian ulama mengatakan bahawa timbangan itu banyak, sebanyak jumlah umat, individu, ataupun amal perbuatannya. Kerana tidak pernah datang lafaznya dalam Al-Qur’an melainkan dalam bentuk jama’. Adapun yang datang secara ifrad (tunggal) dalam hadis, itu hanya untuk menunjukkan jenis timbangan tersebut.

Tetapi sebahagian ulama lainnya berpendapat bahawa timbangan itu Cuma satu, kerana lafaz yang terdapat dalam hadis adalah mufrad, adapun bentuk jama’ yang terdapat dalam Al-Qur’an, itu menunjukkan sisi yang ditimbang. Dua pendapat ini mungkin ada benarnya. Wallahu a’lam.

Yang ditimbang adalah amal perbuatannya, berdasarkan zahir ayat Al-Qur’an dan hadis di atas, tetapi ada yang berpendapat bahawa yang ditimbang adalah buku catatan amal berdasarkan hadis pemilik kad (bithaaqah) laa ilaaha illallaah, dan ada pendapat lain bahawa yang ditimbang adalah pelaku amal perbuatan itu sendiri, berdasarkan hadis Abu Hurairah bahawasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّهُ لَيَأْتِي الرَّجُلُ العَظِيمُ السَّمِينُ يَوْمَ القِيَامَةِ، لاَ يَزِنُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ، وَقَالَ: اقْرَءُوا، {فَلاَ نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ القِيَامَةِ وَزْنًا} [الكهف: 105]

“Sesungguhnya akan datang seorang lelaki yang besar lagi gemuk pada hari Kiamat, tetapi di sisi Allah tidaklah ia lebih berat berbanding sayap nyamuk. Dan beliau bersabda: Bacalah (firman Allah): “Dan Kami tidak memberikan untuk mereka berat timbangan pada hari Kiamat.” (Shahih Al-Bukhari, no. 4729. Muslim, no. 2785)

(Maka syaikh Al-‘Utsaimin pun mengatakan dalam rangka kompromi):

وجمع بعض العلماء بين هذه النصوص بأن الجميع يوزن، أو أن الوزن حقيقة للصحائف وحيث إنها تثقل وتخف بحسب الأعمال المكتوبة صار الوزن كأنه للأعمال، وأما وزن صاحب العمل فالمراد به قدره وحرمته. وهذا جمع حسن والله أعلم

“Sebahagian ulama menggabungkan antara dalil-dalil ini dengan cara bahawasanya semua itu ditimbang, atau mungkin dikatakan bahawa yang ditimbang adalah buku catatan amal, tetapi berat dan ringannya bergantung kepada amal perbuatan yang tertulis di dalamnya, maka jadilah seakan-akan yang ditimbang itu amal perbuatannya. Adapun yang dimaksudkan dengan menimbang pelaku amal itu sendiri adalah kedudukan dan kehormatannya. Ini adalah cara penggabungan yang baik. Wallaahu a’lam.”

نشر الدواوين Pembahagian Buku Catatan Amal

نشر (An-Nasyr) secara bahasa adalah “فتح الكتاب أو بث الشيء” (membuka kitab atau menyebarkan sesuatu). Dan secara syara’ adalah “إظهار صحائف الأعمال يوم القيامة وتوزيعها” memperlihatkan buku catatan amal perbuatan pada hari Kiamat serta mengedarkannya (membahagikannya).

Adapun “الدواوين” adalah bentuk jama’ dari kata “ديوان” yang secara bahasanya adalah “الكتاب يحصى فيه الجند ونحوهم” (buku yang padanya untuk mencatat data pasukan dan selainnya). Dan secara syara’ pula, “الصحائف التي أحصيت فيها الأعمال التي كتبها الملائكة على العامل” adalah buku catatan yang ditulis oleh para malaikat untuk mencatat amal-amal seorang hamba.

Dengan demikian, yang dimaksudkan dengan pembahagian buku catatan amal adalah dinampakkannya buku catatan amal perbuatan pada hari Kiamat, lalu ada yang menerimanya dengan tangan kanan dan ada yang dengan tangan kiri.

Dan ini ditetapkan berdasarkan Al-Kitab (Al-Qur’an), As-Sunnah, dan ijma’ al-ummah.

Allah Ta’ala berfirman:

فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ (7) فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا (8) وَيَنْقَلِبُ إِلَى أَهْلِهِ مَسْرُورًا (9) وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ (10) فَسَوْفَ يَدْعُو ثُبُورًا (11) وَيَصْلَى سَعِيرًا

“Adapun orang yang diberikan buku catatan dari sebelah kanannya, maka dia akan dihisab dengan hitungan yang mudah, dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira. Adapun orang-orang yang diberikan buku catatannya dari belakang, maka dia akan berteriak, “Celaka-lah aku.” Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala.” (Surah Al-Insyiqaaq, 84: 7-12)

Dan firman Allah Ta’ala:

وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ

“Dan adapun orang-orang yang kitabnya diberikan di tangan kirinya, maka dia berkata, “Alangkah baiknya jika kitabku (ini) tidak diberikan kepadaku.”.” (Surah Al-Haaqqah, 69: 25)

Dan daripada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahawa beliau bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:

هَلْ تَذْكُرُونَ أَهْلِيكُمْ؟ قال: أَمَّا فِي ثَلَاثَةِ مَوَاطِنَ فَلَا يَذْكُرُ أَحَدٌ أَحَدًا: عِنْدَ الْمِيزَانِ حَتَّى يَعْلَمَ أَيَخِفُّ مِيزَانُهُ أم يَثْقُلُ، وَعِنْدَ تطاير الصحف حتى يعلم أين يقع كتابه في يمينه، أم في شماله، أم وراء ظهره، وعند الصراط إذا وضع بين ظهراني جهنم حتى يجوز

“Adakah engkau akan ingat kepada keluarga kamu?” Maka jawab Rasulullah:

“Adapun pada tiga tempat, maka tidak ada seorang pun yang mengingat seorang yang lainnya; (iaitu) di saat al-miizaan (timbangan) sehingga dia mengetahui ringan atau berat timbangannya, di saat dibahagikan buku catatan amal sehingga dia mengetahui adakah bukunya akan diterima oleh tangan kanan atau kiri atau dari belakangnya, dan di saat dia melintasi ash-Shiraath (titian) yang terletak di atas Jahannam sampailah dia menyeberanginya.” (Sunan Abu Daud, no. 4755. Dan kata Al-Hakim, sahih di atas syarat keduanya)

Dan kaum muslimin ijma’ akan ketetapan ini.

صفة أخذ الكتاب (Cara Mengambil Buku Catatan Amal)

Orang-orang mukmin akan mengambilnya dengan tangan kanan dengan gembira dan suka cita, lalu berkata:

هَاؤُمُ اقْرَءُوا كِتَابِيَهْ

“… Ambillah, bacalah kitabku (ini).” (Surah Al-Haaqqah, 69: 19)

Tetapi orang-orang kafir akan mengambilnya dengan tangan kirinya atau dari arah belakangnya dengan meraung penuh penyesalan, lalu berkata:

يَا لَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ (25) وَلَمْ أَدْرِ مَا حِسَابِيَهْ

“… Wahai alangkah baiknya jika tidak diberikan kepadaku kitabku (ini), dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku.” (Surah Al-Haaqqah, 69: 25-26)

Wallahu a’lam…