Dari imam Ahmad bin Hanbal (katanya):
Dasar ahlus sunnah menurut kami adalah,
27 – Sebaik-baik manusia setelah para sahabat adalah generasi yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam diutus padanya. Setiap orang yang bersahabat dengannya sama ada setahun, sebulan, sehari, sesaat atau pernah melihatnya, maka mereka termasuk dari para sahabatnya. Ia memiliki keutamaan bersahabat bersesuai dengan waktu persahabatan dengannya. Kerana keterdahuluannya bersama beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, yang telah mendengar darinya, dan yang melihat kepadanya. Maka serendah-rendah darjat mereka adalah masih tetap lebih utama jika mahu dibandingkan dengan generasi yang tidak pernah melihatnya walaupun berjumpa Allah dengan membawa seluruh amal (kebaikan). Mereka dari kalangan orang-orang yang pernah bersahabat dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, melihat dan mendengar darinya, serta orang yang melihatnya dengan mata kepalanya dan beriman kepadanya walaupun hanya sesaat, mereka adalah Iebih utama (disebabkan persahabatannya dengan beliau) daripada para tabi’in walaupun mereka mengamalkan segala amal kebaikan.
28 – Mendengar dan taat kepada para imam dan pemimpin kaum mu’minin yang baik ataupun yang buruk. Dan kepada khalifah yang dengannya manusia bersatu di bawahnya dan meredhainya. Dan juga kepada orang yang telah mengalahkan manusia dengan pedang (kekuatan) sehingga dia menjadi khalifah dan disebut sebagai Amirul Mukminin (pemimpin kaum mukmin). (Imam Ahmad bin Hanbal, Ushulus Sunnah, prinsip 27 & 28)
Penjelasan/Syarah:
Berikut adalah hadis sahih dari lmran bin Hushain secara marfu’ berkenaan keutamaan tiga generasi terawal:
“Sebaik-baik umatku adalah generasiku, kemudian orang-orang yang setelahnya, kemudian orang-orang yang setelahnya.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari, hadis no. 3650 dan Muslim, hadis no. 2535)
Dari Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah redha kepada mereka dan mereka pun redha kepada Allah.” (Surah at-Taubah, 9: 100)
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkenaan keutamaan para sahabat:
“Sekiranya salah seorang dari kamu berinfak emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan dapat mengimbangi (infak) satu atau setengah mud mereka.” (Hadis Riwayat al-Bukhari (3673), dan Muslim (2541). Keduanya dari hadis Abi Sa’id al-Khudri secara marfu’)
Adalah yang dimaksudkan dengan perkataannya: (ashhabi (sahabatku)) adalah orang-orang yang mulazamah dan terkenal dengan persahabatan yang baik dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, bukan orang yang sekadar pernah bertemu dengan beliau atau berjumpa dalam waktu yang singkat/sebentar dan
tidak terkenal. Sebagai dalil adalah sabdanya:
“Janganlah kamu mencela para sahabatku.”
Dimaksudkan kepada seluruh sahabatnya, iaitu orang-orang yang menurut istilah dapat disebut sebagai sahabat daripada orang-orang yang berada di zamannya, dan (larangan itu) ditujukan kepada orang-orang setelah mereka. Nabi berpesan kepada mereka agar mengetahui hak orang-orang yang khusus dari para sahabatnya yang sentiasa bermulazamah (berdampingan) dengannya dan memiliki hubungan yang erat dengan beliau. Wallahu a’lam.
Di dalam persoalan ini, di sana masih terdapat beberapa penjelasan yang lain. Kerana persoalan ini adalah termasuk di dalam perkara yang tidak diragukan lagi bahawa persahabatan dengan Nabi rnempunyai keutamaan tertentu yang mana bergantung kepada kelamaan (tempoh) dan tahap ujian seseorang di dalam bersahabat. Kemudian setelah itu, keutamaan diukur dengan keimanan dan amalan. Mungkin juga di sana terdapat sebahagian para tabi’in atau para pengikut tabi’in atau orang-orang yang datang setelah generasi mereka lebih utama dari sebahagian para sahabat. Sebagaimana halnya orang yang menjumpai zaman yang penuh dengan fitnah-fitnah yang besar dan ia tabah serta bersabar di dalamnya, maka baginya pahala yang lebih besar daripada pahala sebahagian para sahabat yang mati syahid. Perkara tersebut adalah sebagaimana yang ditunjukan oleh hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Berkenaan mendengar dan taat kepada para imam atau pun pemimpin, maka dalilnya,
Dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri di antara kamu.” (Surah an-Nisaa’, 4: 59)
Dan dari sabda RasululIah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
“Akan memimpin kalian para pemimpin yang kalian mengetahui dan mengingkari. Barangsiapa yang mengetahui maka ia telah berlepas diri, dan barangsiapa yang membenci maka ia telah selamat. Akan tetapi orang yang redha dan mengikutinya.” Mereka bertanya: “Bolehkah kami memerangi mereka?” Beliau menjawab: “Jangan, selagi mereka mendirikan solat.” (Diriwayatkan oleh Muslim, hadis no. 1480 dan hadis Ummu Salamah)
Di dalam atsar dari Hasan al-Bashri, bahawa sekelompok orang mendatanginya (di zaman Yazid bin Muhallab) maka ia memerintahkan mereka agar menetapi rumah-rumah mereka dan menutup pintu-pintu mereka. Kernudian Ia berkata: “Demi Allah, seandainya manusia bersabar tatkala diuji dengan pemimpin mereka, maka tidak lama kemudian Allah akan mengangkat/menghilangkan perkara (ujian) itu dari mereka. Akan tetapi disebabkan mereka berlindung dengan pedang (mereka), maka mereka diserahkah (urusannya) kepadanya. Dan demi Allah, mereka sama sekali tidak mendatangkan suatu hari dengan sedikit kebaikan pun.” Kemudian ia membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan telah sempurnalah perkataan Rabbmu yang baik (sebagal janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat oleh Fir’aun dan kaumnya dan apa yang telah dibina oleh mereka.” (Surah al-A’raaf, 7: 137) (Lihat asy-Syarii’ah (atsar:19) dan Tafsir Ibni Abi Hatim (juz 3, hal. 178/b))
Hasan al-Bashri berkata: “Sungguh menghairankan orang yang takut kepada seorang raja atau suatu kezaliman setelah ia beriman kepada ayat ini. Ketahuilah, demi Allah, seandainya manusia bersabar kerana perintah Allah ketika ia diuji, niscaya Allah akan menghilangkan kesusahan dari mereka, akan tetapi mereka tidak sabar dengan pedang, maka mereka diserahkan kepada rasa takut. Dan kami berlindung kepada Allah dari keburukan ujian.” (Tafsir aI-Hasan (1/386))
Syaikh al-Albani berkata berkenaan ayat ini,
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri di antara kamu.” (Surah an-Nisaa’, 4: 59)
Ia berkata: “Termasuk perkara yang jelas bahawa perkara tersebut khusus kepada para pemimpin yang muslim. Adapun orang-orang kafir penjajah maka tidak ada ketaatan kepada mereka, bahkan wajib persiapan yang sempurna sama ada melalui persiapan harta benda (material) ataupun ma’nawi untuk mengusir mereka dan mensucikan negeri-negeri dari kotoran mereka.” (Lihat ta’liqnya terhadap aqidah ath-Thahawiyyah, hal. 48)
Dan (tidak wajibnya taat) ini bukan hanya kepada orang-orang kafir asli, bahkan lebih-lebih lagi orang-orang murtad adalah termasuk dari mereka (yang tidak wajib ditaati dan didengar). Iaitu orang-orang yang tidak memelihara (hubungan) kerabat terhadap orang-orang mu’min dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Mereka telah tunduk terhadap al-lbahiyah dan keluar dari syariat Allah dengan alasan kemajuan dan demokrasi. Semoga Allah mensucikan negeri-negeri kaum muslimin dari mereka dan perbuatan-perbuatan mereka.” (Hal-hal yang berkaitan dengan masalah ini dapat dirujuk dalam ta’liq terhadap ath-Thahawiyah, hal. 47 dan Syarah ath-Thahawiyah, hal. 379)
Dinukil dan disunting dari:
Kitab Ushulus Sunnah, oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Tahqiq/Syarah Walid bin Muhammad Nubaih, m/s. 99-105. (Edisi Terjemahan: Terbitan Pustaka Darul Ilmi, Mac 2008M)